Ruang refleksi diri, ruang berbagi.

Tampilkan postingan dengan label AnyPrespektif. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AnyPrespektif. Tampilkan semua postingan

Menggeser Stigma || Iri; Adalah Reaksi Hati yang Paling Jujur - AnyPerpektif

Oktober 06, 2021




Iri; Reaksi paling jujur yang dialami hati.








Source: Pinterst - Kill the Negative one.













Tulisan ini mungkin menjadi prosa pertama yang ditulis secara struktrural dengan mengangkat tema serta konteks yang bisa dikatakan cukup relevan dengan hal yang mungkin terjadi hari ini dan kemarin-lalu. Berbicara seberapa relevankah prosa ini dengan kejadian yang terjadi di hari ini dan kemarin, jawabannya silahkan bersama-sama kita melihat kedalam diri masing-masing. Inilah AnyPrespektif.



Latarbelakang

Dalam menjalani keseharian, kita kerap kali berdampingan dengan stigma yang dibuat oleh masyarakat akan suatu hal. Atau barangkali secara tidak disadari, kita pun ternyata tlah ditanamkan atau bahkan memiliki stigma sendiri mengenai suatu hal.

( Menurut : https://www.merdeka.com/ “stigma adalah sebuah pikiran, pandangan, dan juga kepercayaan negatif yang didapatkan seseorang dari masyarakat ataupun juga lingkungannya. Stigma biasanya berupa labelling, stereotip, separation, serta diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi diri seorang individu secara keseluruhan.”)

Lambat laun, muncullah sebuah pertanyaan yang mengusik saya terkait bagaimana sebenarnya kita memandang stigma-stigma produk masyarakat,

sudahkah kita mencari asal-muasal mengapa stigma tersebut kerap timbul dan menjadi sesuatu yang lumrah serta diwajarkan keberadaannya oleh sebagian masyarakat? Atau sekurangnya, sudahkah kita mencari akar sebenar-benarnya dari stigma yang timbul pada diri kita sendiri?

Apakah selama ini kita hanya memakan hasil prespektif masyarakat tanpa tahu kebenarannya? Atau malah justru kita menyadari akan hal tersebut, namun memilih untuk bergeming menutup segala kemungkinan (pandangan sebagian besar masyarakat).




//

Dari berbagai macam stigma-stigma yang dihasilkan oleh masyarakat, tema mengenai "iri" kali ini menjadi bahasan yang cukup menarik untuk dibahas.



Dapat disimpulkan bahwa iri sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang tidak boleh diteruskan secara berkepanjangan keberadaannya, karena beberapa orang percaya bahawasanya, memiliki sifat iri hanya akan menghambat usaha manusia dalam mencapai hasil terbaik dalam hidupnya, dikarenakan (mereka akan) terlalu fokus kepada pencapaian orang lain ketimbang dirinya(Norma Sosial) serta terkesan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta (Norma Agama.)

Pandangan tersebut secara tidak langsung memberi potret seolah-olah sifat iri ini merupakan sebuah racun yang tidak dianjurkan bagi seorang manapun meminumnya atau bahkan memberi ruang tempat di dalam diri.

Sering kali hal tersebutlah yang diterima secara bulat-bulat oleh kebanyakan orang. Sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwasaannya, stigma tentang “iri” sebagai suatu sifat yang terkesan buruk dan harus dihindari tersebut adalah sebuah hal yang mutlak. Sampai-sampai melupakan bahwa hal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah prespektif yang kebetulan banyak orang telah setuju.

Satu hal yang saya yakini dengan berani hari ini ialah, bahwasannya iri termasuk kedalam sifat yang tidak bisa dihindari secara instant, dalam arti lain, iri termasuk kedalam sifat yang manusiawi.



//.

Manusia yang tidak bisa terlepas dari sifat kompetitifnya.

Saat merasa iri, manusia secara natural akan berusaha untuk mencapai atau memiliki hal yang ia inginkan. Oleh karena itu, muncullah kompetisi. Artinya, setiap orang yang memiliki kesadaran penuh pasti memiliki “ke-iri-an” entah dengan apapun itu. Tentu, dengan megakui sifat “iri” tersebut, kita tidak sedikitpun kehilangan nilai apapun.

Justru dengan keberadaannya (iri) telah menjadi salah satu pembuktikan bahwa hati serta pikiran kita masih menjalankan fungsinya dengan benar dan baik yaitu, dengan menunjukan sebuah reaksi (iri). Apapun konotasi orang tentang stigma “ke-iri-an” sudahkan mereka sadar bahwa, iri adalah sebuah reaksi jujur yang ditimbulkan oleh pikiran serta hati kita sendiri?



Catatan kecil; Menjadikan iri sebagai ungkapan tentang ketidakberdayaan sementara, minimal sampai menemukan solusi yang lebih baik untuk diri sendiri.





ini bukan tentang iri kepada mereka dan ingin menjadi seperti mereka.

tapi menurutku ku, jikalau aku menjadi mereka saat ini (orang yang ku iri-kan), mungkin semuanya akan jauh lebih mudah, karna untuk mencapai apa yang saat ini sangat ingin kutuju, mereka telah memiliki semua faktornya.

Aku melihat banyak orang, dengan kehidupan yang hampir sempurna. Dengan ditiap langkahnya hampir memiliki akurasi keberhasilan yang tinggi, tanpa risiko apapun.

privilege?

tentu, itu privilege terbesar yang diberikan oleh variable-variablel lain dalam hidupnya. Mereka dengan bebas melangkah kemanapun, mencoba berbagai hal apapaun tanpa perlu memikirkan risiko apapun.

sedang, yang tidak memiliki privilege demikian, cenderung memperhatikan langkahnya, bahkan kebanyakan dari mereka lebih memilih jalur selamatnya, agar tidak menemui kegagalan yang berarti.

Sebagaian besar beranggapan, hidup diusia yang sama dengan nasib yang berbeda-beda. Ada sebagaian yang berutung karena sama-sama bernasib baik, memiliki akurasi keberhasilan yang tinggi karena memiliki variable-variable tertentu (Keluarga, harta, tahta orang tua). Namun sebagian, ada yang “cukup” hanya menjadi pendengar kisah-kisah heroik setiap keberhasilan.

Memilih untuk bangkit dan memilih untuk iri, keduanya sama-sama merupakan opsi yang manusiawi. Betapa sedihnya, apabila memiliki nasib kurang baik di mana tidak memiliki variable-variable pendukung namun dipaksa menjauhkan sifat yang seharusnya manusiawi (iri). Kondisi serperti itu biasanya diisi oleh orang-orang yang tidak diperbolehkan untuk iri, dan selalu dipaksa mengejar ketertinggalannya dari orang-orang yang memiliki variable.

Dikuatkan dengan frasa, bahwasannya semuanya sudah diatur. 

Namun sering kali mereka lupa, jikalau iri pun merupakan reaksi terjujur yang diciptakan oleh hati kita, yang mengisyaratkan jika “saat ini” kita belum bisa memiliki atau mencapai sesuatu itu.

menyadari bahwa kita selalu mempunyai sebuah keinginan serta diikuti oleh ketidakberdayaan dalam mewujudkannya, karena kita dibatasi oleh sesuatu (entah apa itu). Kemudian mengartikan bahwa, apabila kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dalam kondisi sadar bahwa kita ingin adalah sebuah hal yang tidak sehat, termasuk beberapa cara untuk memandang bawa ke-irian adalah suatu hal yang manusiawi.



Namun, bukan berarti menggeser stigma tentang iri menjadi hal yang manusiawi dapat semata-mata mengubah stigma yang sedari dahulu telah berjalan dari masa ke masa. Sayangnya tidak demikian.

Tapi dilain sisi, iri sebagai salah satu sifat yang manusiawi dan wajar dapat kita jadikan sebuah pandangan baru yang mungkin saja bisa diterapkan ke dalam diri kita sendiri, minimal.

Bahwasannya kita tidak perlu menutupi ataupun menjauhkan sifat iri karena tuntutan stigma lagi. Dengan mengenali iri sebagai sifat yang manusiawi, kita lebih mudah meng”iyakan” bahwa setiap orang memiliki pontensi ke-iri-an, kemudian kita bisa mengidentifikasi tentang, apa yang menjadi sebab “ke-iri-an.” dengan indentifikasi dan seiring berjalannya waktu kita mulai bisa terbiasa mengatasi sifat tersebut kapapun iri mulai muncul.



Para Pelaku Usaha-usaha Baik.

Kemudian, baik di internet maupun dimasyarakat, orang-orang sibuk dengan caption (di Internet) atau usaha berupa berkata-kata yang bisa dikatakan positif (dimasyarakat) dalam rangka menjauhkan atau mencegah orang dari sifat iri tersebut.

Kemudian saya akan mengambil beberapa caption serta kata-kata templet yang sering digunakan guna menyuarakan itikad baik tersebut, contohnya:

Mendapatkan apa yang menjadi tujuan Anda bukan perjuangan semalam. Anda harus konsisten dan tetap berusaha untuk mencapainya. Meskipun kadang perjalanan untuk mendapatkannya tidak mulus, tetapi jangan berhenti dan tetap lah berusaha.”

Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2694522/3-cara-ubah-rasa-iri-jadi-motivasi



Berikut hanyalah satu dari sekian banyak contoh dari internet maupun usaha berkata-kata (di dalam masyrakat.)

Menurut apa yang saya kumpulakan dalam ingatan dan saya coba untuk rangkum, mengenai usaha berkata-kata serta caption tersebut ternyata menitik beratkan bahwasannya, 

pencapaian telah ditetapkan kepada diri masing-masing dan tidaklah elok rasanya merasakan iri terhadap orang lain, padahal hal tersebut (pencapaian) sudah ada porsinya masing-masing.


Dari pernyataan yang terlahir akibat pengalaman tersebut, pertama-tama kita harus amini bahwasannya usaha berkata-kata serta caption tersebut telah banyak menjauhkan orang dari rasa iri (walaupun tidak ada fakta atau data bahwa berapa banyak meraka yang terjauhi dari sifat iri).

Selain itu, kita juga harus banyak mengapresiasi, karena secara tidak langsung si “Pelaku” usaha berkata-kata serta penulis caption tersebut telah banyak mengingatkan kepada banyak orang bahwasannya, ketimbang membuang-buang waktu dengan ke-iri-an baik yang disengaja maupun yang tidak, kita ternyata masih bisa melakukan hal lain yang tentunya akan berdampak jauh lebih baik yaitu, dengan mewujudkan apa yang seharusnya kita wujudkan.


Kita bisa bayangkan, bahwa betapa banyaknya orang yang tidak saling megenal satu sama lain di dunia ini, tetapi mereka semua tetap ingin menebar atau bahkan sudah menebar kebaikan lewat caranya tersendiri.












Marx; Sebuah candu?

September 10, 2019

                    

                         Sebuah peringatan
                                      Part 1
Saat ini, tidak ada satu aspek kehidupan yang tidak dihubungkan dengan agama, mulai dari perasaan bahagia, pekerjaan, bencana alam, bahkan hingga pertarungan politik. Semua hal yang sudah atau sedang berlangsung kalau bisa diatas namakan agama, dijaman Soekarno dulu dikatakan politik adalah panglima, dijaman Soeharto ekonomi adalah panglima, sekarang agama adalah panglima. Tapi satu hal yang akan menimbulkan cibiran, kutukan, bahkan presekusi.

      Adalah jika kita memasukan nama Karl Marx dalam kata ‘agama’ ini, banyak yang beranggapan bahwa Marx anti agama, sehingga tidak relevan dong, jikalau kita hubungkan antara Marx dengan agama, tapi apakah benar demikian?
Kita akan bedah masalah prespektif masyarakat tentang Karl Marx dan idenya tentang agama. Bagian satu.
       
         "Agama adalah opium masyarakat" adalah salah satu kalimat termahsyur yang sering disindir orang jika bicara Marx dan agama. Pernyataan lengkapnya berbunyi:"Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, dan jiwa dari keaadan yang tak berjiwa, agama adalah candu masyarakat."

                             Pernyataan ini mengungkapkan tentang agama sebagai ekspresi penderitaan manusia dibumi sekaligus ungkapan protes atas
penderitaan tersebut. Di zaman Marx masih hidup, yaitu di kehidupan abad ke-19, opium atau candu berkonotasi positif. Opium adalah obat murah untuk para kelas pekerja saat itu. sehingga dianggap bermanfaat dan banyak gunanya. Tidak seperti sekarang yang melulu negatif,  jadi sumber penyakit, dan aneka ketagihan buruk lainnya.
                      
yang jarang diketahui orang adalah bagaimana Marx amat menghargai existensi agama dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang besar dan berpengaruh. Disaat yang sama Marx berpendapat bahwa kekuatan agama yang besar tersebut bisa membentuk ilusi kebahagiaan dibenak dan fikiran manusia, dan menjadi semacam opium  bagi orang-orang yang sakit sebab bisa meredakan rasa sakit dan sengsara.

Setidaknya ada dua point yang mungkin mendasari mengapa Marx dan idenya ditolak dan justru dianggap berbelok dari moralitas, khusunya di Indonesia.

Agama adalah opium.” Seperti sudah ditegaskan diatas, opium pada masa Marx masih hidup, yaitu pada abad ke-19, adalah justru menjurus atau berkonotasi sebagai sesuatu yang baik/positif. Di karenakan opium pada masa itu dinilai baik dan banyak berguna untuk para kelas pekerja. Seiring berkembangnya zaman, serta cara pandang seseorang, opium pun menjadi salah satu zat yang banyak di salah gunakan bagi sebagian orang
     
    Yang tentunya membuat ‘nilai opium’ di masa dahulu dan kini amatlah berbeda, baik dalam segi konotasi, maupun wajar atau tidak wajar dalam sebuah analogi. Masyarakat awam yang hidup di era kini mungkin akan merujuk atau mengambil pengetahuan yang sudah tersedia saat ini, bahwa ‘opium’ termasuk atau tertekan dalam makna yang tentu berkonotasi negatif,
 Menimbulkan kecanduan, menghilangkan kesadaran seseorang, dan efek buruk lainnya yang ditimbulkan akibat pemakaian yang berlebih.

Banyak yang berasumsi, bahwa ide Marx itu menganalogi kan manusia yang mulai kehilangan kesadaran, kecanduan, akibat opium. Sehingga asumsi-asumsi itu banyak diangkat dan menjadi perdebatan banyak orang.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa mungkin, asumsi-asumsi itulah yang kemudian menjadi sebuah penolakan atas ide yang dikemukakan Marx.

Point berikutnya, agama ialah ilusi. Pada saat yang bersamaan Marx juga menyebutkan bahwa, “kekuatan agama yang besar tersebut bisa membentuk ilusi kebahagiaan dibenak dan fikiran manusia, dan menjadi semacam opium  bagi orang-orang yang sakit sebab bisa meredakan rasa sakit dan sengsara.”  Selanjutnya yang banyak menjadi perdebatan ialah, agama bisa menjadi sebuah ilusi yang menempel dibenak dan fikiran masyarakat. Tentunya makna ilusi itu sendiri pun sudah berkali-kali mendapatkan terjemehan yang lain-lain pula, beda kepala, beda juga penerjemahaan. Membaca setengah, atau membaca secara keseluruhannya pun, tentu akan beda hasilnya.

          Menyebut kata ilusi, yang terlintas dibenak kita pasti adalah ketidak nyataanya suatu objek. Asumsi orang tentang agama adalah berbanding terbalik dengan apa yang ingin disampaikan Marx, point yang ingin dikritisi Marx ialah, Besarnya kekuatan agama, serta timbulnya  faktor-faktor yang terkadang memang benar terjadi, kadang kala membuat orang-orang yang terikat dalam suatu agama tersebut seolah-olah berimaji bahwasannya efek yang ditimbulkan oleh agama memang terus menurus positf tanpa adanya wujud nyata dari si (manusianya) itu sendiri. Yang membuat manusia itu sendiri pasif dan tidak mau melawan atas sesuatu yang menyulitkannya atau dalam bahasa lainnya, kehendak pasrah.

Tentunya dari pengambilan informasi yang setengah-setengah tersebut, timbulah sebuah ketidak fahaman yang membuat sebuah opini yang tidak sesuai pula atas ide-ide yang dilontarkan Marx, sehingga lahirlah prespsi-presepsi buruk. Ketika sebuah informasi hanya diambil kepalanya saja, tidak berikut semua isinya, maka yang terjadi hanyalah ketidak tahuan, ketidak tahuan itulah yang memancing masyarakat untuk membuat asumsi-asumsi versi mereka dan tentunya berjalan dari mulut ke mulut, bukannya haram hal seperti itu, sebuah ide haruslah dibarengi dengan asumsi-asumsi publik lainnya, yang salah hanyalah ketika kita lebih nyaman dengan rasa ketidak tahuan yang kita miliki

              Yang tersisa hanyalah sejarah buruk,bagi orang-orang yang tidak ingin tahu, orang-orang yang sudah tercekoki zaman. ide Marx adalah salah satu bingkaian sejarah buruk yang dibingkai oleh sekelompok orang yang memang menentang status quo-nya di lawan, sekelompok orang yang takut kursinya di rebut orang lain. Hantu dizaman modern ini bukan lagi pasal yang klenik-klenik. Hantu yang modern dimasa kini ialah ide-ide yang dibingkai sedemikian rupa, yang didandani seciamik mungkin, sehingga dapat menakut-nakuti khalayak publik, baik dari sisi psychology (traumatis), moralitas, dan tentunya materi.


Isnpirasi oleh : IndoprogressTV-Kupas singkat Marx dan agama part1

About Us