Iri; Reaksi paling jujur yang dialami hati.
![]() |
Source: Pinterst - Kill the Negative one. |
Tulisan ini mungkin menjadi prosa pertama yang ditulis secara struktrural dengan mengangkat tema serta konteks yang bisa dikatakan cukup relevan dengan hal yang mungkin terjadi hari ini dan kemarin-lalu. Berbicara seberapa relevankah prosa ini dengan kejadian yang terjadi di hari ini dan kemarin, jawabannya silahkan bersama-sama kita melihat kedalam diri masing-masing. Inilah AnyPrespektif.
Latarbelakang
Dalam menjalani keseharian, kita kerap kali berdampingan dengan stigma yang dibuat oleh masyarakat akan suatu hal. Atau barangkali secara tidak disadari, kita pun ternyata tlah ditanamkan atau bahkan memiliki stigma sendiri mengenai suatu hal.
( Menurut : https://www.merdeka.com/ “stigma adalah sebuah pikiran, pandangan, dan juga kepercayaan negatif yang didapatkan seseorang dari masyarakat ataupun juga lingkungannya. Stigma biasanya berupa labelling, stereotip, separation, serta diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi diri seorang individu secara keseluruhan.”)
Lambat laun, muncullah sebuah pertanyaan yang mengusik saya terkait bagaimana sebenarnya kita memandang stigma-stigma produk masyarakat,
“sudahkah kita mencari asal-muasal mengapa stigma tersebut kerap timbul dan menjadi sesuatu yang lumrah serta diwajarkan keberadaannya oleh sebagian masyarakat? Atau sekurangnya, sudahkah kita mencari akar sebenar-benarnya dari stigma yang timbul pada diri kita sendiri?
Apakah selama ini kita hanya memakan hasil prespektif masyarakat tanpa tahu kebenarannya? Atau malah justru kita menyadari akan hal tersebut, namun memilih untuk bergeming menutup segala kemungkinan (pandangan sebagian besar masyarakat).”
//
Dari berbagai macam stigma-stigma yang dihasilkan oleh masyarakat, tema mengenai "iri" kali ini menjadi bahasan yang cukup menarik untuk dibahas.
Dapat disimpulkan bahwa iri sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang tidak boleh diteruskan secara berkepanjangan keberadaannya, karena beberapa orang percaya bahawasanya, memiliki sifat iri hanya akan menghambat usaha manusia dalam mencapai hasil terbaik dalam hidupnya, dikarenakan (mereka akan) terlalu fokus kepada pencapaian orang lain ketimbang dirinya(Norma Sosial) serta terkesan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta (Norma Agama.)
Pandangan tersebut secara tidak langsung memberi potret seolah-olah sifat iri ini merupakan sebuah racun yang tidak dianjurkan bagi seorang manapun meminumnya atau bahkan memberi ruang tempat di dalam diri.
Sering kali hal tersebutlah yang diterima secara bulat-bulat oleh kebanyakan orang. Sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwasaannya, stigma tentang “iri” sebagai suatu sifat yang terkesan buruk dan harus dihindari tersebut adalah sebuah hal yang mutlak. Sampai-sampai melupakan bahwa hal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah prespektif yang kebetulan banyak orang telah setuju.
Satu hal yang saya yakini dengan berani hari ini ialah, bahwasannya iri termasuk kedalam sifat yang tidak bisa dihindari secara instant, dalam arti lain, iri termasuk kedalam sifat yang manusiawi.
//.
Manusia yang tidak bisa terlepas dari sifat kompetitifnya.
Saat merasa iri, manusia secara natural akan berusaha untuk mencapai atau memiliki hal yang ia inginkan. Oleh karena itu, muncullah kompetisi. Artinya, setiap orang yang memiliki kesadaran penuh pasti memiliki “ke-iri-an” entah dengan apapun itu. Tentu, dengan megakui sifat “iri” tersebut, kita tidak sedikitpun kehilangan nilai apapun.
Justru dengan keberadaannya (iri) telah menjadi salah satu pembuktikan bahwa hati serta pikiran kita masih menjalankan fungsinya dengan benar dan baik yaitu, dengan menunjukan sebuah reaksi (iri). Apapun konotasi orang tentang stigma “ke-iri-an” sudahkan mereka sadar bahwa, iri adalah sebuah reaksi jujur yang ditimbulkan oleh pikiran serta hati kita sendiri?
Catatan kecil; Menjadikan iri sebagai ungkapan tentang ketidakberdayaan sementara, minimal sampai menemukan solusi yang lebih baik untuk diri sendiri.
ini bukan tentang iri kepada mereka dan ingin menjadi seperti mereka.
tapi menurutku ku, jikalau aku menjadi mereka saat ini (orang yang ku iri-kan), mungkin semuanya akan jauh lebih mudah, karna untuk mencapai apa yang saat ini sangat ingin kutuju, mereka telah memiliki semua faktornya.
Aku melihat banyak orang, dengan kehidupan yang hampir sempurna. Dengan ditiap langkahnya hampir memiliki akurasi keberhasilan yang tinggi, tanpa risiko apapun.
privilege?
tentu, itu privilege terbesar yang diberikan oleh variable-variablel lain dalam hidupnya. Mereka dengan bebas melangkah kemanapun, mencoba berbagai hal apapaun tanpa perlu memikirkan risiko apapun.
sedang, yang tidak memiliki privilege demikian, cenderung memperhatikan langkahnya, bahkan kebanyakan dari mereka lebih memilih jalur selamatnya, agar tidak menemui kegagalan yang berarti.
Sebagaian besar beranggapan, hidup diusia yang sama dengan nasib yang berbeda-beda. Ada sebagaian yang berutung karena sama-sama bernasib baik, memiliki akurasi keberhasilan yang tinggi karena memiliki variable-variable tertentu (Keluarga, harta, tahta orang tua). Namun sebagian, ada yang “cukup” hanya menjadi pendengar kisah-kisah heroik setiap keberhasilan.
Memilih untuk bangkit dan memilih untuk iri, keduanya sama-sama merupakan opsi yang manusiawi. Betapa sedihnya, apabila memiliki nasib kurang baik di mana tidak memiliki variable-variable pendukung namun dipaksa menjauhkan sifat yang seharusnya manusiawi (iri). Kondisi serperti itu biasanya diisi oleh orang-orang yang tidak diperbolehkan untuk iri, dan selalu dipaksa mengejar ketertinggalannya dari orang-orang yang memiliki variable.
Dikuatkan dengan frasa, bahwasannya semuanya sudah diatur.
Namun sering kali mereka lupa, jikalau iri pun merupakan reaksi terjujur yang diciptakan oleh hati kita, yang mengisyaratkan jika “saat ini” kita belum bisa memiliki atau mencapai sesuatu itu.
menyadari bahwa kita selalu mempunyai sebuah keinginan serta diikuti oleh ketidakberdayaan dalam mewujudkannya, karena kita dibatasi oleh sesuatu (entah apa itu). Kemudian mengartikan bahwa, apabila kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dalam kondisi sadar bahwa kita ingin adalah sebuah hal yang tidak sehat, termasuk beberapa cara untuk memandang bawa ke-irian adalah suatu hal yang manusiawi.
Namun, bukan berarti menggeser stigma tentang iri menjadi hal yang manusiawi dapat semata-mata mengubah stigma yang sedari dahulu telah berjalan dari masa ke masa. Sayangnya tidak demikian.
Tapi dilain sisi, iri sebagai salah satu sifat yang manusiawi dan wajar dapat kita jadikan sebuah pandangan baru yang mungkin saja bisa diterapkan ke dalam diri kita sendiri, minimal.
Bahwasannya kita tidak perlu menutupi ataupun menjauhkan sifat iri karena tuntutan stigma lagi. Dengan mengenali iri sebagai sifat yang manusiawi, kita lebih mudah meng”iyakan” bahwa setiap orang memiliki pontensi ke-iri-an, kemudian kita bisa mengidentifikasi tentang, apa yang menjadi sebab “ke-iri-an.” dengan indentifikasi dan seiring berjalannya waktu kita mulai bisa terbiasa mengatasi sifat tersebut kapapun iri mulai muncul.
Para Pelaku Usaha-usaha Baik.
Kemudian, baik di internet maupun dimasyarakat, orang-orang sibuk dengan caption (di Internet) atau usaha berupa berkata-kata yang bisa dikatakan positif (dimasyarakat) dalam rangka menjauhkan atau mencegah orang dari sifat iri tersebut.
Kemudian saya akan mengambil beberapa caption serta kata-kata templet yang sering digunakan guna menyuarakan itikad baik tersebut, contohnya:
“Mendapatkan apa yang menjadi tujuan Anda bukan perjuangan semalam. Anda harus konsisten dan tetap berusaha untuk mencapainya. Meskipun kadang perjalanan untuk mendapatkannya tidak mulus, tetapi jangan berhenti dan tetap lah berusaha.”
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2694522/3-cara-ubah-rasa-iri-jadi-motivasi
Berikut hanyalah satu dari sekian banyak contoh dari internet maupun usaha berkata-kata (di dalam masyrakat.)
Menurut apa yang saya kumpulakan dalam ingatan dan saya coba untuk rangkum, mengenai usaha berkata-kata serta caption tersebut ternyata menitik beratkan bahwasannya,
menyadari bahwa kita selalu mempunyai sebuah keinginan serta diikuti oleh ketidakberdayaan dalam mewujudkannya, karena kita dibatasi oleh sesuatu (entah apa itu). Kemudian mengartikan bahwa, apabila kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dalam kondisi sadar bahwa kita ingin adalah sebuah hal yang tidak sehat, termasuk beberapa cara untuk memandang bawa ke-irian adalah suatu hal yang manusiawi.
Namun, bukan berarti menggeser stigma tentang iri menjadi hal yang manusiawi dapat semata-mata mengubah stigma yang sedari dahulu telah berjalan dari masa ke masa. Sayangnya tidak demikian.
Tapi dilain sisi, iri sebagai salah satu sifat yang manusiawi dan wajar dapat kita jadikan sebuah pandangan baru yang mungkin saja bisa diterapkan ke dalam diri kita sendiri, minimal.
Bahwasannya kita tidak perlu menutupi ataupun menjauhkan sifat iri karena tuntutan stigma lagi. Dengan mengenali iri sebagai sifat yang manusiawi, kita lebih mudah meng”iyakan” bahwa setiap orang memiliki pontensi ke-iri-an, kemudian kita bisa mengidentifikasi tentang, apa yang menjadi sebab “ke-iri-an.” dengan indentifikasi dan seiring berjalannya waktu kita mulai bisa terbiasa mengatasi sifat tersebut kapapun iri mulai muncul.
Para Pelaku Usaha-usaha Baik.
Kemudian, baik di internet maupun dimasyarakat, orang-orang sibuk dengan caption (di Internet) atau usaha berupa berkata-kata yang bisa dikatakan positif (dimasyarakat) dalam rangka menjauhkan atau mencegah orang dari sifat iri tersebut.
Kemudian saya akan mengambil beberapa caption serta kata-kata templet yang sering digunakan guna menyuarakan itikad baik tersebut, contohnya:
“Mendapatkan apa yang menjadi tujuan Anda bukan perjuangan semalam. Anda harus konsisten dan tetap berusaha untuk mencapainya. Meskipun kadang perjalanan untuk mendapatkannya tidak mulus, tetapi jangan berhenti dan tetap lah berusaha.”
Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2694522/3-cara-ubah-rasa-iri-jadi-motivasi
Berikut hanyalah satu dari sekian banyak contoh dari internet maupun usaha berkata-kata (di dalam masyrakat.)
Menurut apa yang saya kumpulakan dalam ingatan dan saya coba untuk rangkum, mengenai usaha berkata-kata serta caption tersebut ternyata menitik beratkan bahwasannya,
pencapaian telah ditetapkan kepada diri masing-masing dan tidaklah elok rasanya merasakan iri terhadap orang lain, padahal hal tersebut (pencapaian) sudah ada porsinya masing-masing.
Selain itu, kita juga harus banyak mengapresiasi, karena secara tidak langsung si “Pelaku” usaha berkata-kata serta penulis caption tersebut telah banyak mengingatkan kepada banyak orang bahwasannya, ketimbang membuang-buang waktu dengan ke-iri-an baik yang disengaja maupun yang tidak, kita ternyata masih bisa melakukan hal lain yang tentunya akan berdampak jauh lebih baik yaitu, dengan mewujudkan apa yang seharusnya kita wujudkan.
Kita bisa bayangkan, bahwa betapa banyaknya orang yang tidak saling megenal satu sama lain di dunia ini, tetapi mereka semua tetap ingin menebar atau bahkan sudah menebar kebaikan lewat caranya tersendiri.