
Sebuah peringatan
Part 1
Saat ini, tidak ada satu aspek kehidupan
yang tidak dihubungkan dengan agama, mulai dari perasaan bahagia, pekerjaan,
bencana alam, bahkan hingga pertarungan politik. Semua hal yang sudah atau
sedang berlangsung kalau bisa diatas namakan agama, dijaman Soekarno dulu dikatakan
politik adalah panglima, dijaman Soeharto ekonomi adalah panglima, sekarang
agama adalah panglima. Tapi satu hal yang akan menimbulkan cibiran, kutukan,
bahkan presekusi.
Adalah jika kita
memasukan nama Karl Marx dalam kata ‘agama’ ini, banyak yang beranggapan bahwa
Marx anti agama, sehingga tidak relevan dong, jikalau kita hubungkan antara
Marx dengan agama, tapi apakah benar demikian?
Kita akan bedah masalah prespektif masyarakat tentang Karl
Marx dan idenya tentang agama. Bagian satu.
"Agama adalah opium masyarakat" adalah salah satu kalimat termahsyur yang sering disindir orang jika bicara Marx dan agama. Pernyataan lengkapnya berbunyi:"Agama adalah keluh kesah dari masyarakat yang tertindas, hati dari dunia yang tak berhati, dan jiwa dari keaadan yang tak berjiwa, agama adalah candu masyarakat."
Pernyataan ini mengungkapkan tentang agama sebagai ekspresi penderitaan manusia dibumi sekaligus ungkapan protes atas
penderitaan tersebut. Di zaman Marx masih hidup, yaitu di
kehidupan abad ke-19, opium atau candu berkonotasi positif. Opium adalah obat murah untuk para kelas pekerja saat
itu. sehingga dianggap bermanfaat dan banyak gunanya. Tidak
seperti sekarang yang melulu negatif, jadi sumber penyakit, dan aneka ketagihan
buruk lainnya.
yang jarang diketahui orang adalah bagaimana Marx amat menghargai existensi agama dalam kehidupan manusia sebagai sesuatu yang besar dan berpengaruh. Disaat yang sama Marx berpendapat bahwa kekuatan agama yang besar tersebut bisa membentuk ilusi kebahagiaan dibenak dan fikiran manusia, dan menjadi semacam opium bagi orang-orang yang sakit sebab bisa meredakan rasa sakit dan sengsara.
Setidaknya ada dua point yang mungkin mendasari mengapa Marx dan idenya ditolak dan justru dianggap berbelok dari moralitas, khusunya di Indonesia.
“Agama adalah opium.” Seperti sudah ditegaskan diatas, opium pada masa Marx masih hidup, yaitu pada abad ke-19, adalah justru menjurus atau berkonotasi sebagai sesuatu yang baik/positif. Di karenakan opium pada masa itu dinilai baik dan banyak berguna untuk para kelas pekerja. Seiring berkembangnya zaman, serta cara pandang seseorang, opium pun menjadi salah satu zat yang banyak di salah gunakan bagi sebagian orang
Yang tentunya membuat ‘nilai opium’ di masa dahulu dan kini amatlah berbeda, baik dalam segi konotasi, maupun wajar atau tidak wajar dalam sebuah analogi. Masyarakat awam yang hidup di era kini mungkin akan merujuk atau mengambil pengetahuan yang sudah tersedia saat ini, bahwa ‘opium’ termasuk atau tertekan dalam makna yang tentu berkonotasi negatif,
Menimbulkan
kecanduan, menghilangkan kesadaran seseorang, dan efek buruk lainnya yang
ditimbulkan akibat pemakaian yang berlebih.
Banyak yang berasumsi, bahwa ide Marx itu menganalogi kan manusia yang mulai kehilangan kesadaran, kecanduan, akibat opium. Sehingga asumsi-asumsi itu banyak diangkat dan menjadi perdebatan banyak orang.
Bisa ditarik kesimpulan bahwa mungkin, asumsi-asumsi
itulah yang kemudian menjadi sebuah penolakan atas ide yang dikemukakan Marx.
Point berikutnya, agama ialah ilusi. Pada saat yang
bersamaan Marx juga menyebutkan bahwa, “kekuatan agama yang besar tersebut bisa
membentuk ilusi kebahagiaan dibenak dan fikiran manusia, dan menjadi
semacam opium bagi orang-orang
yang sakit sebab bisa meredakan rasa sakit dan sengsara.” Selanjutnya yang banyak menjadi perdebatan
ialah, agama bisa menjadi sebuah ilusi yang menempel dibenak dan fikiran
masyarakat. Tentunya makna ilusi itu sendiri pun sudah berkali-kali mendapatkan
terjemehan yang lain-lain pula, beda kepala, beda juga penerjemahaan. Membaca
setengah, atau membaca secara keseluruhannya pun, tentu akan beda hasilnya.
Menyebut
kata ilusi, yang terlintas dibenak kita pasti adalah ketidak nyataanya suatu
objek. Asumsi orang tentang agama adalah berbanding terbalik dengan apa yang
ingin disampaikan Marx, point yang ingin dikritisi Marx ialah, Besarnya kekuatan
agama, serta timbulnya faktor-faktor yang terkadang memang benar terjadi, kadang kala membuat orang-orang yang terikat dalam suatu agama tersebut
seolah-olah berimaji bahwasannya efek yang ditimbulkan oleh agama memang terus
menurus positf tanpa adanya wujud nyata dari si (manusianya) itu sendiri. Yang
membuat manusia itu sendiri pasif dan tidak mau melawan atas sesuatu yang
menyulitkannya atau dalam bahasa lainnya, kehendak pasrah.
Tentunya dari
pengambilan informasi yang setengah-setengah tersebut, timbulah sebuah ketidak
fahaman yang membuat sebuah opini yang tidak sesuai pula atas ide-ide yang dilontarkan
Marx, sehingga lahirlah prespsi-presepsi buruk. Ketika sebuah informasi hanya
diambil kepalanya saja, tidak berikut semua isinya, maka yang terjadi hanyalah
ketidak tahuan, ketidak tahuan itulah yang memancing masyarakat untuk membuat asumsi-asumsi versi mereka dan tentunya berjalan dari mulut ke mulut, bukannya haram hal seperti itu, sebuah ide haruslah dibarengi dengan asumsi-asumsi publik lainnya, yang salah hanyalah ketika kita lebih nyaman dengan rasa ketidak tahuan yang kita miliki
Yang tersisa hanyalah sejarah buruk,bagi orang-orang yang tidak ingin tahu, orang-orang yang sudah tercekoki zaman. ide Marx adalah salah satu bingkaian sejarah buruk yang dibingkai oleh sekelompok orang yang memang menentang status quo-nya di lawan, sekelompok orang yang takut kursinya di rebut orang lain. Hantu dizaman modern ini bukan lagi pasal yang klenik-klenik. Hantu yang modern dimasa kini ialah ide-ide yang dibingkai sedemikian rupa, yang didandani seciamik mungkin, sehingga dapat menakut-nakuti khalayak publik, baik dari sisi psychology (traumatis), moralitas, dan tentunya materi.
Isnpirasi oleh : IndoprogressTV-Kupas singkat Marx dan agama part1