Proses Perjalanan Menuju Dunia yang Gelap, Penuh Darah Serta Keringat.
-Memoar Seorang Muslimah.
Tentang Novel
Judul Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Scripta Manent, Tahun 2005.
Cetakan : Cetakan Ke-1 dari 16
Tebal dan halaman : 269 Halaman dengan dimensi 12 X 19 cm.
Judul Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Scripta Manent, Tahun 2005.
Cetakan : Cetakan Ke-1 dari 16
Tebal dan halaman : 269 Halaman dengan dimensi 12 X 19 cm.
Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (Resensi.)
Novel dibuka dengan seutas kejadian yang menggambarkan hampir secara garis besar keseleruhan dari novel ini. Berkisah tentang seorang perempuan tuna susila yang mendapat hukuman akibat melanggar sebuah norma yang amat dijaga oleh sebuah masyarakat, yang mengakibatkan nyawanya harus melayang.
Semua orang dari berbagai macam kalangan -- mulai dari pemuka agama hingga anak kecil yang belum tahu arti sebuah "Dosa", apa itu"Pelacuran" dan "Zina" -- turut andil dalam aksi peradilan yang mereka percaya sebagai adil.
"Kalian sedang melempari batu -- kalian yang ingin membunuh wanita ini -- kenapa kalian ingin membunuh dia? Karena ia seorang pelacur? Karena a melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah satu pun di antara kalian yang belum pernah melacurkan jiwanya, rohnya? kalau ada, biarkan ia melempar batu pertama. Kalian semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini." Kata orang, ia yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa.
(Dikutip dari Anand Krishna, Surat Al-fatiha bagi orang Modern, 1999:64-65)
Apa yang kerap terbesit dalam fikiran kalian, ketika mendengar kata "Pelacur", "Pelacuran, "Zina"? Banyak dari kita mungkin telah sepakat bahwasannya kata tersebut kerap kali menggambarkan sebuah dunia atau pekerjaan yang dinilai sebagai tabu dalam masyarakat yang bersusila.
Tapi sudahkah kita melihat "dunia" tersebut menggunakan kacamata (perspektif) seorang yang berada langsung dalam pelukan dunia yang di mana banyak orang menganggapnya sebagai tabu?
Melalui novelnya, Muhiddin Dahlan atau yang lebih kita kenal sebagai Gus Muh berjudul, "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur" -Sebuah memoar seorang muslimah. Menawarkan sebuah proses perjalanan menuju dunia yang gelap, penuh darah serta keringat.
Di mana menceritakan suatu proses perjalanan iman dan nalar serta perubahan paling drastis yang dialami seorang manusia atas hal yang paling fundamental dalam tradisi masyarakat tempatnya dibesarkan, yaitu agama dan keimanan.
Novel yang menceritakan perjalanan Nidah Kiran, seorang perempuan yang tengah hanyut dalam doktrin organisasi garis keras (atau suatu kelompok jemaah) yang tengah giat-giatnya mewujudkan sebuah kehidupan-kehidupan yang dilingkari dengan firman tuhan. Bagaimana tidak, semenjak pertemuannya dengan Rahmi dihari itu, Nidah seakan-akan hanya memiliki satu cita-cita yang sebenarnya sangat ia cari-cari yakni, berislam secara kaffah. Namun di dalam perjalanannya mewujudkan cita-cita serta kehidupan ideal (Kehidupan yang ditegakan oleh syariat islam) ternyata tidak berjalan mulus seperti apa yang ia bayangkan. di tengah perjalananya, Nidah, ternyata diterpa oleh badai kecewa.
Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia yang di idealkannya bisa mengantarnya berislam secara kaffah justru malah merampas nalar kritis sekaligus keimanannya. Setiap pertanyaan yang diajukan berkali-kali mengenai arah serta keresahannya terhadap organisasi tersebut, harus berkali-kali juga dijawab dengan dogma yang tertutup. Kondisi yang membuatnya sangat resah tersebut berulang kali ia gugat dengan seribu gugatan, namun hanya ada kehampaan setelahnya. Tidak pernah ada jawaban atau solusi yang membuatnya puas atas kondisi yang ia alami saat ini tentang arah organisasi, masa depan cita-citanya, serta hal-hal yang ia pertanyakan. Lagi dan lagi selalu dijawab dengan dogma tertutup.
Dalam kekecewaan dan keresahan yang tak lagi tertahankan, ia memutuskan untuk melarikan diri secara diam-diam dari organisasi garis keras tersebut menuju dunia yang baru. Dunia yang penuh dengan pelampiasan, hingga pada akhirnya ia menjadi wanita yang tidak terkontrol. Kekecewaan, kehampaan, kekosongan serta ke-frustasian-nya terhadap apa yang telah ia berikan terhadap perjuangannya untuk mewujudkan "dunia yang ideal" kini harus ia tuai sebagai hasil yang paling pahit dalam proses hidupnya.
Hingga pada akhirnya ia pun terjatuh kedalam "titik nol" di kehidupannya. Dalam proses keterjerembabnya itulah ia melampiaskan seluruh ke-frustasi-annya melalui obat-obatan terlarang, Free sex, bahkan menjadi pelacur. “Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan! Kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal. Dari pertualangan sex-nya tersebutlah ternyata tersingkap topeng-topeng kemunafikan. Wajah-wajah lain yang tak pernah terlihat sebelumnya, wajah-wajah lain dibalik lantangnya suara aktivis-aktivis yang senantiasa meneriakan tegaknya moralitas.
Tentu novel ini akan banyak sekali menuai polemik di sana-sini apabila hanya dinilai secara tekstualnya saja. Jauh daripada itu, sebenarnya apa yang ingin dipaparkan Gus Muh pada Novelnya tersebut?
Melalui eksistensi serta perjalanan yang dilalui sang tokoh (Nidah) Gus Muh sepertinya ingin memaparkan realitas-realitas yang sebenarnya banyak terjadi dikehidupan bermasyarakat: Tentang status sosial, cinta, agama sebagai tradisi, ide soal ikatan sebagai penyempurna, kebobrokan intelektualitas, serta terlalu timpangnya peranan laki-laki.
Melalui novel tersebut juga terdapat pesan-pesan seperti, bahwa mereka yang jauh dari agama, banyak diduga tidak menemukan keimanan terbaiknya dan justru terjatuh kedalam iman yang hitam. Seluruh rasa "kehausan" (alasan penghambaannya) baik berupa pertanyaan dan lain-lainnya malah terus-menerus direspon dengan dogma yang kaku dan monoton.
Dikoda cerita yang berhasil menggambarkan akhir sebuah cerita yang masih berjalan, yang berisi sisi lain dari seorang Nidah. Ia tetap menengadah, memantapkan diri, meneguhkan segenap hati, serta tak lupa mengulangi kalimat pemberontakannya atas Tuhan. Dengan kemantapan hati tersebutlah ia siap masuk kedalam gelap dari gelap.
"Oh Tuhan, izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain, menerima kehidupan dengan sepenuh kejujuran. Seperti gemericik air di pematang sawah, serupa cicit-cicit cericit burung yang bercendai diselimuti induknya karena alam tlah mengajariku untuk menerima setiap lembaran kasih-Mu bersama secauk permohonan. Sayangi aku dalam pekat anugerah-Mu. Aku tak punya apa-apa selain hati yang akan selalu menunggu sapa-Mu. Sapa yang gelap dan terkutuk di kala aku terjaga dari tidurku, di kala sang waktu memalak usiaku terus-menerus hingga aku terlelap dalam penyerahan sempurna, dalam pelukan bumi." -Nidah, dalam doa terakhir dimalam terakhir.
Meninjau penulisan serta pesan yang tersirat, nampaknya GusMuh ingin mengetengahkan seperti apa oknum atau individu yang dapat membuat citra islam tercoreng. Sangat jelas serta terlihat melalui penjelasan-penjelasan yang tertulis dalam novel tersebut ditegaskan, bahwa yang rusak bukanlah suatu agama, melainkan individu-individu di dalamnya.
Dengan judul yang tidak biasa serta pemecahan-pemecahan pada setiap bagian yang saling menyusun (pengakuan 1-11), membuat buku ini lebih menarik untuk dibaca. Dibagaian awal cerita yang sudah memiliki kesan serta bahasan yang menari, membuat kita lebih bersemangat untuk terus melanjutkannya. Membaca buku ini, mengajak kita berpikir kritis atas realitas yang terjadi. Dan tak lupa pula novel tersebut menawarkan kita sebuah sudut pandang atau perspektif lain dari seorang yang kerap termarjinalkan dari sebuah dunia yang selalu menuntut dan mengaku susila/bersusila.
Jalan cerita yang mudah serta ringan untuk dimengerti, serta penggunaan nama dan tempat yang bukan fiktif tentu amat-sangat memudahkan para pembaca untuk mengerti dan menikmati jalan cerita serta membanyangkan kejadian-kejadian di dalamnya.
Namun kendati novel tersebut juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada. Seperti cerita yang ditampilkan monoton, adanya beberapa bagian pada cerita yang tidak penting dan berkaitan dengan konflik yang terjadi, banyaknya karakter-karakter penting yang peranan serta latarbelakangnya tidak di didalami seperti rahmi, dahiri, midas serta yang lainnya. Metafora yang terkesan memaksakan serta bagian yang paling fatal dan berisiko adalah gaya cerita yang terlalu mendakwa dan menggurui yang mungkin saja membuat sebagian orang memiliki spekulasi buruk mengenai suatu pihak.
Cover novel yang terkesan biasa-biasa saja membuat penampilan yang biasa-biasa saja pula terhadap bukunya. Jika tidak membaca judulnya mungkin saja orang-orang bisa kehilangan ketertarikannya pada novel tersebut. Ending yang bisa dikatakan di luar ekspektasi dan menggantung dikarenakan ending tersebut ternyata adalah awal. Namun, menurut saya pribadi, secara keseluruhan novel atau karya tersebut sangatlah layak konsumsi dengan sebuah catatan kecil yaitu, pendampingan atau pengawasan bagi kaum-kaum awam, dan keterbukaan, penerimaan, serta pewajaran bagi kaum-kaum konservatif.
Dalam kekecewaan dan keresahan yang tak lagi tertahankan, ia memutuskan untuk melarikan diri secara diam-diam dari organisasi garis keras tersebut menuju dunia yang baru. Dunia yang penuh dengan pelampiasan, hingga pada akhirnya ia menjadi wanita yang tidak terkontrol. Kekecewaan, kehampaan, kekosongan serta ke-frustasian-nya terhadap apa yang telah ia berikan terhadap perjuangannya untuk mewujudkan "dunia yang ideal" kini harus ia tuai sebagai hasil yang paling pahit dalam proses hidupnya.
Hingga pada akhirnya ia pun terjatuh kedalam "titik nol" di kehidupannya. Dalam proses keterjerembabnya itulah ia melampiaskan seluruh ke-frustasi-annya melalui obat-obatan terlarang, Free sex, bahkan menjadi pelacur. “Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan! Kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal. Dari pertualangan sex-nya tersebutlah ternyata tersingkap topeng-topeng kemunafikan. Wajah-wajah lain yang tak pernah terlihat sebelumnya, wajah-wajah lain dibalik lantangnya suara aktivis-aktivis yang senantiasa meneriakan tegaknya moralitas.
Tentu novel ini akan banyak sekali menuai polemik di sana-sini apabila hanya dinilai secara tekstualnya saja. Jauh daripada itu, sebenarnya apa yang ingin dipaparkan Gus Muh pada Novelnya tersebut?
Melalui eksistensi serta perjalanan yang dilalui sang tokoh (Nidah) Gus Muh sepertinya ingin memaparkan realitas-realitas yang sebenarnya banyak terjadi dikehidupan bermasyarakat: Tentang status sosial, cinta, agama sebagai tradisi, ide soal ikatan sebagai penyempurna, kebobrokan intelektualitas, serta terlalu timpangnya peranan laki-laki.
Melalui novel tersebut juga terdapat pesan-pesan seperti, bahwa mereka yang jauh dari agama, banyak diduga tidak menemukan keimanan terbaiknya dan justru terjatuh kedalam iman yang hitam. Seluruh rasa "kehausan" (alasan penghambaannya) baik berupa pertanyaan dan lain-lainnya malah terus-menerus direspon dengan dogma yang kaku dan monoton.
Dikoda cerita yang berhasil menggambarkan akhir sebuah cerita yang masih berjalan, yang berisi sisi lain dari seorang Nidah. Ia tetap menengadah, memantapkan diri, meneguhkan segenap hati, serta tak lupa mengulangi kalimat pemberontakannya atas Tuhan. Dengan kemantapan hati tersebutlah ia siap masuk kedalam gelap dari gelap.
"Oh Tuhan, izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain, menerima kehidupan dengan sepenuh kejujuran. Seperti gemericik air di pematang sawah, serupa cicit-cicit cericit burung yang bercendai diselimuti induknya karena alam tlah mengajariku untuk menerima setiap lembaran kasih-Mu bersama secauk permohonan. Sayangi aku dalam pekat anugerah-Mu. Aku tak punya apa-apa selain hati yang akan selalu menunggu sapa-Mu. Sapa yang gelap dan terkutuk di kala aku terjaga dari tidurku, di kala sang waktu memalak usiaku terus-menerus hingga aku terlelap dalam penyerahan sempurna, dalam pelukan bumi." -Nidah, dalam doa terakhir dimalam terakhir.
Meninjau penulisan serta pesan yang tersirat, nampaknya GusMuh ingin mengetengahkan seperti apa oknum atau individu yang dapat membuat citra islam tercoreng. Sangat jelas serta terlihat melalui penjelasan-penjelasan yang tertulis dalam novel tersebut ditegaskan, bahwa yang rusak bukanlah suatu agama, melainkan individu-individu di dalamnya.
Dengan judul yang tidak biasa serta pemecahan-pemecahan pada setiap bagian yang saling menyusun (pengakuan 1-11), membuat buku ini lebih menarik untuk dibaca. Dibagaian awal cerita yang sudah memiliki kesan serta bahasan yang menari, membuat kita lebih bersemangat untuk terus melanjutkannya. Membaca buku ini, mengajak kita berpikir kritis atas realitas yang terjadi. Dan tak lupa pula novel tersebut menawarkan kita sebuah sudut pandang atau perspektif lain dari seorang yang kerap termarjinalkan dari sebuah dunia yang selalu menuntut dan mengaku susila/bersusila.
Jalan cerita yang mudah serta ringan untuk dimengerti, serta penggunaan nama dan tempat yang bukan fiktif tentu amat-sangat memudahkan para pembaca untuk mengerti dan menikmati jalan cerita serta membanyangkan kejadian-kejadian di dalamnya.
Namun kendati novel tersebut juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada. Seperti cerita yang ditampilkan monoton, adanya beberapa bagian pada cerita yang tidak penting dan berkaitan dengan konflik yang terjadi, banyaknya karakter-karakter penting yang peranan serta latarbelakangnya tidak di didalami seperti rahmi, dahiri, midas serta yang lainnya. Metafora yang terkesan memaksakan serta bagian yang paling fatal dan berisiko adalah gaya cerita yang terlalu mendakwa dan menggurui yang mungkin saja membuat sebagian orang memiliki spekulasi buruk mengenai suatu pihak.
Cover novel yang terkesan biasa-biasa saja membuat penampilan yang biasa-biasa saja pula terhadap bukunya. Jika tidak membaca judulnya mungkin saja orang-orang bisa kehilangan ketertarikannya pada novel tersebut. Ending yang bisa dikatakan di luar ekspektasi dan menggantung dikarenakan ending tersebut ternyata adalah awal. Namun, menurut saya pribadi, secara keseluruhan novel atau karya tersebut sangatlah layak konsumsi dengan sebuah catatan kecil yaitu, pendampingan atau pengawasan bagi kaum-kaum awam, dan keterbukaan, penerimaan, serta pewajaran bagi kaum-kaum konservatif.