Judul: ‘Disforia Inersia’
Penulis: Wira Nagara
Jumlah Halaman: 143 lembar
Genre: Romance
Penerbit: Mediakita
Begitulah kiranya, tulis seorang Wira nagara dimuka buku keduanya tersebut.
Sebuah anugerah rasanya bisa kembali membaca serta menyelesaikan buku karya Wira Nagara ini. Setelah sempat berhasil pada buku pertamanya (Distilasi Alkena) , kini ‘Disforia Inersia’
Penulis: Wira Nagara
Jumlah Halaman: 143 lembar
Genre: Romance
Penerbit: Mediakita
Review Buku "Disforia Inersia":
Buku Kedua Wira Nagara, Serta Proses Melangkahnya yang Tak Lagi Mudah
![]() |
Source: Google |
“Sebab bahagia adalah kesedihan yang tinggal menunggu waktu.”
–Disforia Inersia
Begitulah kiranya, tulis seorang Wira nagara dimuka buku keduanya tersebut.
Sebuah anugerah rasanya bisa kembali membaca serta menyelesaikan buku karya Wira Nagara ini. Setelah sempat berhasil pada buku pertamanya (Distilasi Alkena) , kini ‘Disforia Inersia’
(Buku Keduanya) hadir dengan berbagai macam kisah baru dan tentunya kembali siap menyapa para penikmat lara.
Walaupun jarak antara perilisan buku ‘Disforia Inersia’ cukup jauh dengan Review yang kali ini saya tulis, sehingga memungkinan bagi para pembaca lama yang sampai pada halaman ini sedikit-banyak telah lupa terhadap isi dari buku ‘Disforia Inersia’. Mungkin ini adalah momentum yang tepat bagi kalian untuk bernostalgia dengan buku tersebut. Dan bagi para pembaca yang masih memilik ingatan tentang buku ini, mungkin ini adalah ruang yang tepat untuk merefleksikannya.
Walaupun jarak antara perilisan buku ‘Disforia Inersia’ cukup jauh dengan Review yang kali ini saya tulis, sehingga memungkinan bagi para pembaca lama yang sampai pada halaman ini sedikit-banyak telah lupa terhadap isi dari buku ‘Disforia Inersia’. Mungkin ini adalah momentum yang tepat bagi kalian untuk bernostalgia dengan buku tersebut. Dan bagi para pembaca yang masih memilik ingatan tentang buku ini, mungkin ini adalah ruang yang tepat untuk merefleksikannya.
Gambaran singkat tentang Disforia inersia
Buku ini termasuk kedalam genre Romance, tepatnya kumpulan cerita
Buku ini termasuk kedalam genre Romance, tepatnya kumpulan cerita
(tentang Proses Melangkahnya yang Tak Lagi Mudah)
yang dialami sendiri oleh mas Wira dibeberapa fase dalam hidupnya.
Mas Wira mencoba menggambarkan latar yang sangat relate dengan masa sekarang ini. Bahwasannya, di ruang apapun kita (Baik maya maupun tatap muka), patah hati akan selalu ada. Untuk mengetahui lebih luas tentang ruang apakah itu, Silah baca lengkapnya melalui pdf maupun bukunya secara legal.
Seperti biasa, di Review buku kali ini mungkin secara tidak sengaja termuat unsur spoiler. Bagi yang belum berkesempatan untuk membacanya dan khawatir pengalaman membacanya terganggu, silah kembali kapanpun, jika diperlukan.
Namun, pabila Review singkat ini dirasa membantu untuk refrensi, tentu saya akan memaparkan dengan cukup jelas, melalui apa yang saya tangkap setelah membacanya.
‘Disforia Inersia’ dalam Definisi, Interpretasi dan Analogi Penulis.
Sedikit membahas tentang latarbelakang dari judul buku tersebut, yang sekaligus menjadi salah satu bagian di dalamnya. Yaitu, 'Disforia Inersia'.
‘Disforia Inersia’ dalam Definisi, Interpretasi dan Analogi Penulis.
Sedikit membahas tentang latarbelakang dari judul buku tersebut, yang sekaligus menjadi salah satu bagian di dalamnya. Yaitu, 'Disforia Inersia'.
Biar ku jelaskan, Disforia ialah keadaan tidak tenang/gelisah atau ketidakpuasan yang mendalam. Sedangkan Inersia adalah kecenderungan semua benda fisik untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya. Maka Disforia Inersia adalah tentang kegelisahan seseorang yang masih menolak untuk melangkah setelah berbagai hal yang menyiksa batinnya; yang pada akhirnya harus dia terima. *ugh perjuangan untuk move on itu berat ya :’)
Tentu bagi para pembaca buku sebelumnya (Distilasi alkena) tema dalam latarbelakang tersebut tidaklah terlalu asing terdengar, keduanya sama-sama memilik pandangan bahwa puncak tertinggi dari mencintai adalah dengan Mengikhlaskan sebuah ikatan.
Seperti pada buku pertamanya, Mas Wira kembali menerapkan gaya penulisan yang saya kira telah menjadi ciri khasnya, yaitu dengan meninterpretasikan banyak bahasa ilmiah.
Seperti pada buku pertamanya, Mas Wira kembali menerapkan gaya penulisan yang saya kira telah menjadi ciri khasnya, yaitu dengan meninterpretasikan banyak bahasa ilmiah.
Namun yang menarik dari buku keduanya kali ini justru terdapat sebuah frasa dari bahasa jawa
“Wisa kentir ing marutha.”
yang cukup membuat saya tertegun mengakui kemampuan anologi ala mas Wira.
Untuk siapa buku ini sebaiknya direkomendasikan?
Sebenarnya buku ini ramah untuk kalangan remaja dan yang ingin bertransisi megakhiri masa remajanya.
Untuk siapa buku ini sebaiknya direkomendasikan?
Sebenarnya buku ini ramah untuk kalangan remaja dan yang ingin bertransisi megakhiri masa remajanya.
(Berdasarkan apa yang saya analisa) buku ini mungkin akan cenderung survive dikalangan usia remaja dan fase akhir remaja, mengingat hal-hal berbau picisan/romance kini yang banyak menggunakannya adalah remaja.
Namun tidak menutup kemungkinan buku ini juga ramah diusia yang lebih tua. Siapa tahu?
Bicara soal harga dan kembaliannya(apa yang bisa kita dapatkan)?
Menurut saya pribadi, tentu cukup sebanding di antara keduanya.
Bicara soal harga dan kembaliannya(apa yang bisa kita dapatkan)?
Menurut saya pribadi, tentu cukup sebanding di antara keduanya.
Dengan harga yang masuk akal, buku ini menawarkan banyak hal-hal seru baik di luar (Cover-nya); Dengan gambar yang langsung dilukis oleh Mas Wira, memiliki padua warna yang tidak terlalu ramai, membuat kesan buku ini cukup bagus dan menarik perhatian.
maupun isinya (Kumpulan cerita) dengan kata-kata yang bisa sesekali kita kutip dan mungkin dijadikan teman untuk mengisi waktu luang karna notabene buku ini mudah dipahami dan ramah untuk dibaca berulang.
Hal-hal yang kusuka, setelah membaca buku ini:
-Buku ini tidak terlalu kompleks. Pada dasarnya isi dari buku ini adalah kumpulan kisah atau cerita, sehingga tidak diperlukan usaha atau waktu yang banyak guna memahami tiap alurnya.
- Keunikan gaya pada penulisan (Tidak hanya dikedua buku ini, namun disosial medianya juga.)
Banyaknya judul dengan menggunakan analogi dari berbagai macam bahasa ilmiah, seringkali membuat kita turut dalam penasaran akan maksud sesungguhnya.
Hal-hal yang kusuka, setelah membaca buku ini:
-Buku ini tidak terlalu kompleks. Pada dasarnya isi dari buku ini adalah kumpulan kisah atau cerita, sehingga tidak diperlukan usaha atau waktu yang banyak guna memahami tiap alurnya.
- Keunikan gaya pada penulisan (Tidak hanya dikedua buku ini, namun disosial medianya juga.)
Banyaknya judul dengan menggunakan analogi dari berbagai macam bahasa ilmiah, seringkali membuat kita turut dalam penasaran akan maksud sesungguhnya.
Minimal kita mulai mencari definisi jelas dari kata setiap tulisan yang menggunakan bahasa ilmiah tersebut, barulah kita bisa ikut meng-analogikannya
Hal-hal yang kurang saya suka, setelah membaca buku ini:
Sebenarnya ini termasuk dalam bentuk kritik saya. Di zaman yang pesat, di mana semua hal yang berbau picisan dan romantisme kini tlah menjadi hal yang klise (untuk sebagian orang).
Hal-hal yang kurang saya suka, setelah membaca buku ini:
Sebenarnya ini termasuk dalam bentuk kritik saya. Di zaman yang pesat, di mana semua hal yang berbau picisan dan romantisme kini tlah menjadi hal yang klise (untuk sebagian orang).
Ada kemungkinan terburuk (Menurut saya) bahwa buku ini akan ditinggalkan oleh pembaca lamanya yang dahulu pertama kali membaca buku ini merasa terkesan. Mengapa demikian?
Jujur hal tersebut terjadi pada saya. Termakan oleh banyaknya hal tentang picisan dan romantisme yang kini berseliweran di mana-mana, membuat citra pandang saya terhadap buku ini (secara utuh dari sudut pandang orang awam) lambatlaun memudar dan kehilangan ke-Exclusive-annya.
Namun, pabila kita mau mencari sesuatu yang berbeda dari buku ini meskipun kita tlah membacanya berulang, mungkin buku ini menjadi tidak membosankan, bahkan ramah untuk re-read. (Di tambah buku ini sendiri adalah kumpulan cerita.)
Lalu, apa yang saya tangkap dari Buku Disforia Inersia ini (moral cerita dalam prespektifku):
Adalah mungkin apa yang kita rencanakan sering kali berujung pada hal-hal yang sebetulnya tidak kita ingnkan.
Lalu, apa yang saya tangkap dari Buku Disforia Inersia ini (moral cerita dalam prespektifku):
Adalah mungkin apa yang kita rencanakan sering kali berujung pada hal-hal yang sebetulnya tidak kita ingnkan.
Apa yang selalu kita harapkan baik (Untuk kita) ternyata bukan hal tersebut yang dimaksdukan untuk kita.
Sehingga kita harus menata hati sedemikian rupa guna siap agar ketika apa-apa yang kita inginkan kelak tidak sesuai lagi, hati kita bisa terbiasa. Juga terdapat nasihat seperti dimuka buku tersebut, saya rasa banyak lagi hal yang akan ditemukan, tergantung proses kita dalam memahami setiap esensi dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.
Oh, Iya! Tentang Disforia Inersia, dan Karya Selanjutnya dari Wira Nagara.
Tentu dengan ketidakpuasaan serta syukur yang berlimpah-limpah, saya mengucapkan terimakasih karna sudah mampir dan membaca ulasan ‘Disforia Inersia’ versi ini sampai usai.
Demikian. Ulasan buku 'disforia inersia' ini saya akhiri.
Oh, Iya! Tentang Disforia Inersia, dan Karya Selanjutnya dari Wira Nagara.
Buku ini saya katakan bisa menjadi teman yang baik kala mengisi waktu luang.
Ringan, relevan, asik. Mungkin tiga kata tersebut menjadi dasar penilaian saya setelah membacanya.
Tentu saya sangat berharap mas Wira untuk terus menulis dengan gaya menulis yang khas. Bahkan saya tetap berharap gaya tulisan ini akan diterapkan kembali dibuku-buku selanjutnya.
Sebagai orang yang sudah "agak" lama mengikuti mas Wira disosial media, membaca buku-bukunya, menelaa setiap interviewnya, tentu saya amat berharap adanya karya-karya berikutnya.
Tentu dengan ketidakpuasaan serta syukur yang berlimpah-limpah, saya mengucapkan terimakasih karna sudah mampir dan membaca ulasan ‘Disforia Inersia’ versi ini sampai usai.
Demikian. Ulasan buku 'disforia inersia' ini saya akhiri.