After Reading || Sebuah Resensi (Novel) "Perempuan Di Titik Nol." - Dalam Suara yang Tetap Samar
wenocturnal
Desember 17, 2021
Tentang Novel.
Judul Buku : Perempuan dititik nol
Penulis : Nawal El-Sadawi
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Penerjemah : Amir Sutaarga
Pengantar : Mochtar Lubis
Ketebalan Buku : 176 Halaman
Cetakan ke: -11
Tahun Terbit : April 2014
Dimensi : 11 x 17 cm
Perempuan Di Titik Nol (Resensi)
“Bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.”
-Perempuan di Tengah Patriarki itu bernama; Firdaus.
Ragam reaksi kerap timbul serta hinggap dikepala kita masing-masing ketika mendengar kata “Patriarki”. Sebuah kata yang dapat melukiskan ke-inferioritas-an sebuah kaum, otoritas moral, timpagnya hak sosial, dominasi politik, serta yang terburuk adalah ancaman kehilangan atas kendali masa depan bagi kaum perempuan. Tentu gambaran tersebut acapkali mejadi cerita atau bahkan momok mengerikan bagi sebagian kaum, khususnya perempuan. Paham yang masih konservatif, ketidaksadaran atas kesetaraan telah membuat budaya sertra praktik-praktik patriarki tersebut masih hidup sampai hari ini. Terlebih di negara-negara berkembang.
Dalam Novelnya, Nawal El-Sadawi, mengajak kita semua (para pembaca) melipir ke negrinya untuk melihat praktik-praktik patriarki secara langsung melalui sudut pandang khusus dari seorang Firdaus, salah satu dari sekian banyak perempuan yang terdampak budaya patriarki di negerinya.
Di mana novel berfokus pada proses transformasi serta perjalanan paling signifikan dalam hidup seorang Firdaus yang polos hingga pada akhirnya menjadi seorang pelacur, sebelum pada akhirnya ia mendapatkan vonis berupa hukuman mati akibat telah membunuh seorang laki-laki.
Novel berangkat dengan masa kecil seorang Firdaus yang lahir serta dibesarkan dalam lingkungan serta budaya patriarki yang kental. diusianya yang masih kanak-kanak serta tidak memiliki pilihan lain selain menerima kehidupan dari kedua orang tuanya, menjadi faktor krusial yang membawanya pada kepatuhan.
Peran orangtua yang diharapkan bisa melindungi, menciptakan rasa nyaman, dan hal-hal sejuk lainnya justru hal tersebut berbanding terbalik. Firdaus kecil pada malam dimusim tertentu sering kali beranjak tidur dengan perut yang kosong dan kedinginan. Jatah makanan serta per-api-an telah menjadi milik satu-satunya lelaki di rumahnya tersebut yaitu, ayahnya. Ironi lainnya pun datang kepada seorang Firdaus kecil, di mana ia harus menjadi korban pelecehan untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh temannya sendiri.
Keadaan pasca sepeninggalan orangtuanya, membawa Firdaus jauh ke Kairo mengikuti Sang paman.. Mendapat pendidikan serta menjadi lulusan terbaik di sekolahnya ternyata tidak menjamin masa depan cerah baginya. Mahalnya biaya untuk melanjutkan kejenjang berikutnya, serta masalah-masalah internal Sang paman yang kini sudah berkeluarga, membuat Firdaus harus menghentikan langkahnya. Namum sebagai bentuk balas budi kepada pamannya yang telah memberinya pendidikan, Firdaus rela dinikahkan.
Selepas mengalami sebuah kejadian yang membuatnya trauma dan lebih memilih untuk melarikan diri, membuatnya luntang-lantung, tanpa arah di jalanan. Keinginannya untuk menyambung hidup mempertmukannya dengan seorang bernama Bayoumi. Seorang yang ia kira pada awalnya memiliki hati yang baik serta berbeda dari orang-orang yang pernah ia temui dalam hidupnya, kini ia pun harus kecewa bahwasannya Bayoumi tak lain memiliki sifat yang sama saja seperti lelaki yang ia jumpai dalam hidupnya.
Setelah pelarian kesekian yang telah ia alami, akhirnya ia pun bertemu dengan seorang yang banyak merubah hidupnya, pikirannya, serta masa depannya. Bagaimana tidak, semenjak pertemuan serta kesadaran diperalat oleh Sharifa salah el-Dine hari itu, Firdaus yang semula polos dan belum mengetahui arahnya, kini ber-transformasi menjadi seorang kasar yang lembut serta telah memutuskan kemana ia akan membawa dirinya sendiri.
Firdaus yang merencakan kembali pada titik semula ia memulai segalanya kini berhasil pada keberuntungannya. Namun ironi serta rasa kecewa kembali mendatanginya akibat keberaniannya melangkah pada sebuah rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya, yaitu jatuh cinta. Rasa sakit luar biasapun meggerayangi badannya, kini ia telah diterpa sebuah badai kecewa yang mendorongnya kembali pada dunia yang dulu pernah ia singgahi, dunia gelap.
“Lelaki Revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenernya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepitanran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang dipersahgunakan. Sesuatu yang diperjual belikan.” Ungkapan kekecewaanya sebelum benar-benar pergi.
“Menjadi pelacur yang sukses lebih baik, daripada menjadi suci yang sesat.” Dari kekecewaanya tersebutlah Ia berangkat dan memulai segment hidup yang tidak lagi baru.
“Menjadi pelacur yang sukses lebih baik, daripada menjadi suci yang sesat.” Dari kekecewaanya tersebutlah Ia berangkat dan memulai segment hidup yang tidak lagi baru.
Kini kesuksesan berada pada dirinya. Ia bisa membeli apapun dengan sesuatu yang telah ia miliki selama ini. Tak hanya fasilitas fisik dan mental, ia pun dengan mudahnya membeli sebuah “kehormatan” atas tuntutan yang mengotori namanya. “Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan.”
Kini sampailah ia pada ironi terakhir pada hidupnya. Setelah apa yang ia dapat, kini tugasnya hanya mempertahankan yang ia miliki dari siapapun yang ingin merenggutnya kembali. Tak pernah ada yang menduga bahwa keinginannya untuk melindugi apa yang telah ia dapatkan serta membuka tabir kebenaran, justru hal tersebut membawanya pada hukuman peradilan dunia. Setelah dinyatakan bersalah membunuh seorang lelaki, ia pun dijatuhi vonis hukuman mati.
Penolakan atas dasar menjaga sesuatu yang telah ia upayakan dengan usahanya sendiri, kini telah menjadi ironi paling pahit dalam hidupnya.
Kini sampailah ia pada ironi terakhir pada hidupnya. Setelah apa yang ia dapat, kini tugasnya hanya mempertahankan yang ia miliki dari siapapun yang ingin merenggutnya kembali. Tak pernah ada yang menduga bahwa keinginannya untuk melindugi apa yang telah ia dapatkan serta membuka tabir kebenaran, justru hal tersebut membawanya pada hukuman peradilan dunia. Setelah dinyatakan bersalah membunuh seorang lelaki, ia pun dijatuhi vonis hukuman mati.
Penolakan atas dasar menjaga sesuatu yang telah ia upayakan dengan usahanya sendiri, kini telah menjadi ironi paling pahit dalam hidupnya.
“Lelaki memaksakan penipuannya kepada perempuan, kemudian menghukumnya karena telah tertipu, menindas mereka ketingkat bawah, menghukum mereka karena tlah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau menghantam mereka dengan pukulan.”
Seperti pada novel-novel berbau isu sensitive lainnya, tentu di novel nawal el-sadawi kali ini banyak sekali menuai pro dan kontra di masyarakat luas. Apalagi hanya ditinjau dalam konteks yang tekstual. Namun sudahkah kita mengesampingkan semua hal tersebut dan jauh daripada itu, sebenarnya apa yang ingn Nawal sampaikan dalam novelnya tersebut?
Melalui eksistensi serta serangkaian peristiwa yang dialami Firdaus, nampaknya Nawal ingin menunjukan sebuah realitas-realitas memperihatinkan yang masih saja banyak terjadi khsusnya di negara berkembang, di mana zaman sudah jauh berkembang namun budaya serta praktik-praktik patriarki masih terus berjalan dan kian menyedihkan.
Melalui novel tersebut pula secara tidak langsung menegaskan bahwa, terdapat ancaman-ancaman yang tidak tertulis dari budaya patriarki terhadap para perempuan seperti ; rawannya pelecehan akibat perempuan selalu mendapat kepincangan moral serta hak, kemiskinan yang senantiasa menghantui, serta hilangnya hak penuh atas diri sendiri dan masa depan.
Dengan judul yang menarik perhatian serta kisah dan tokoh yang diceritakan berdasarkan kisah nyata membuat para pembaca lebih mudah memvisualisasikan dalam realita keseharian. Masalah demi masalah yang ada disertai dengan konflik yang cukup bermain pada sisi emosional, membuat saya memutuskan untuk menuntaskannya. Membaca novel “Women at point zero” ini telah sedikit banyak membuka pikiran saya tentang pentingnya menciptakan dan menjunjung kesetaraan. Dan tak lupa pula di dalam novel tersebut banyak menawarkan perpektif-perspektif yang cukup menarik.
Seperti pada novel-novel berbau isu sensitive lainnya, tentu di novel nawal el-sadawi kali ini banyak sekali menuai pro dan kontra di masyarakat luas. Apalagi hanya ditinjau dalam konteks yang tekstual. Namun sudahkah kita mengesampingkan semua hal tersebut dan jauh daripada itu, sebenarnya apa yang ingn Nawal sampaikan dalam novelnya tersebut?
Melalui eksistensi serta serangkaian peristiwa yang dialami Firdaus, nampaknya Nawal ingin menunjukan sebuah realitas-realitas memperihatinkan yang masih saja banyak terjadi khsusnya di negara berkembang, di mana zaman sudah jauh berkembang namun budaya serta praktik-praktik patriarki masih terus berjalan dan kian menyedihkan.
Melalui novel tersebut pula secara tidak langsung menegaskan bahwa, terdapat ancaman-ancaman yang tidak tertulis dari budaya patriarki terhadap para perempuan seperti ; rawannya pelecehan akibat perempuan selalu mendapat kepincangan moral serta hak, kemiskinan yang senantiasa menghantui, serta hilangnya hak penuh atas diri sendiri dan masa depan.
Dengan judul yang menarik perhatian serta kisah dan tokoh yang diceritakan berdasarkan kisah nyata membuat para pembaca lebih mudah memvisualisasikan dalam realita keseharian. Masalah demi masalah yang ada disertai dengan konflik yang cukup bermain pada sisi emosional, membuat saya memutuskan untuk menuntaskannya. Membaca novel “Women at point zero” ini telah sedikit banyak membuka pikiran saya tentang pentingnya menciptakan dan menjunjung kesetaraan. Dan tak lupa pula di dalam novel tersebut banyak menawarkan perpektif-perspektif yang cukup menarik.
Namun kendati novel tersebut juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada. Seperti buku yang keberadaannya sangat bergantung pada judulnya, dikarenkan covernya yang membosankan. Di awal terdapat gaya bercerita yang terlalu memuja dan memiliki potensi mendiskreditkan suatu kaum. Sesuatu yang fatal yang mungkin luput adalah melupakan kesalahan besar tokoh utama dan memilih fokus pada keberpihakannya, di mana terkesan tidak netral. Bagian yang mungkin dapat dinilai fatal bagi sebagian orang, dikarenakan tokoh utama yang diceritakan dalam nada kepahlawanan namun seakan dilupakannya sesuatu yang membawanya pada akhir cerita tersebut.
Mengingat kata pengantar yang ditulis oleh Mochtar Lubis bahwa benar adanya, bahwa buku ini adalah buku yang keras serta pedas, karena selain realitas menyedihkan, di dalamnya terdapat jeritan, kesakitan serta kutukan dari kaum-kaum yang “pincang”. Siapa yang akan mengira buku dengan tebal yang tidak terlalu tersebut, justru dapat membuat para pembacanya merasa seakan-akan tertampar mengetahui bawa ternyata hal tersebut sangat-amat relevan dikeseharian kita. Bahwa kata “empu” yang diambil dari perempuan yang berartinya kehormatan serta kesaktian hanyalah sekedar ucapan belaka, dalam praktiknya ternyata kita masih sangat jauh. Sungguh menjadi refleksi besar untuk kita semua, para pembaca.
Mengingat kata pengantar yang ditulis oleh Mochtar Lubis bahwa benar adanya, bahwa buku ini adalah buku yang keras serta pedas, karena selain realitas menyedihkan, di dalamnya terdapat jeritan, kesakitan serta kutukan dari kaum-kaum yang “pincang”. Siapa yang akan mengira buku dengan tebal yang tidak terlalu tersebut, justru dapat membuat para pembacanya merasa seakan-akan tertampar mengetahui bawa ternyata hal tersebut sangat-amat relevan dikeseharian kita. Bahwa kata “empu” yang diambil dari perempuan yang berartinya kehormatan serta kesaktian hanyalah sekedar ucapan belaka, dalam praktiknya ternyata kita masih sangat jauh. Sungguh menjadi refleksi besar untuk kita semua, para pembaca.
Menurut saya pribadi, secara keseluruhan novel atau karya tersebut sangatlah layak konsumsi, khsusnya yang meyukai perspektif yang gelap. Namun dengan sebuah catatan apabila ingin menikmati novel atau karya tersebut yaitu, pendampingan atau pengawasan untuk kaum-kaum awam, dan keterbukaan, penerimaan, kebijakan, serta pewajaran bagi kaum-kaum konservatif.