WENOCTURNAL.

Ruang refleksi diri, ruang berbagi.

After Reading || Sebuah Resensi (Novel) "Perempuan Di Titik Nol." - Dalam Suara yang Tetap Samar

Desember 17, 2021

Tentang Novel.

Judul Buku : Perempuan dititik nol

Penulis : Nawal El-Sadawi

Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Penerjemah : Amir Sutaarga

Pengantar : Mochtar Lubis

Ketebalan Buku : 176 Halaman

Cetakan ke: -11

Tahun Terbit : April 2014

Dimensi : 11 x 17 cm









Perempuan Di Titik Nol (Resensi)

Bahwa yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita.”

-Perempuan di Tengah Patriarki itu bernama; Firdaus.





Ragam reaksi kerap timbul serta hinggap dikepala kita masing-masing ketika mendengar kata “Patriarki”. Sebuah kata yang dapat melukiskan ke-inferioritas-an sebuah kaum, otoritas moral, timpagnya hak sosial, dominasi politik, serta yang terburuk adalah ancaman kehilangan atas kendali masa depan bagi kaum perempuan. Tentu gambaran tersebut acapkali mejadi cerita atau bahkan momok mengerikan bagi sebagian kaum, khususnya perempuan. Paham yang masih konservatif, ketidaksadaran atas kesetaraan telah membuat budaya sertra praktik-praktik patriarki tersebut masih hidup sampai hari ini. Terlebih di negara-negara berkembang.



Dalam Novelnya, Nawal El-Sadawi, mengajak kita semua (para pembaca) melipir ke negrinya untuk melihat praktik-praktik patriarki secara langsung melalui sudut pandang khusus dari seorang Firdaus, salah satu dari sekian banyak perempuan yang terdampak budaya patriarki di negerinya.



Di mana novel berfokus pada proses transformasi serta perjalanan paling signifikan dalam hidup seorang Firdaus yang polos hingga pada akhirnya menjadi seorang pelacur, sebelum pada akhirnya ia mendapatkan vonis berupa hukuman mati akibat telah membunuh seorang laki-laki.



Novel berangkat dengan masa kecil seorang Firdaus yang lahir serta dibesarkan dalam lingkungan serta budaya patriarki yang kental. diusianya yang masih kanak-kanak serta tidak memiliki pilihan lain selain menerima kehidupan dari kedua orang tuanya, menjadi faktor krusial yang membawanya pada kepatuhan.

Peran orangtua yang diharapkan bisa melindungi, menciptakan rasa nyaman, dan hal-hal sejuk lainnya justru hal tersebut berbanding terbalik. Firdaus kecil pada malam dimusim tertentu sering kali beranjak tidur dengan perut yang kosong dan kedinginan. Jatah makanan serta per-api-an telah menjadi milik satu-satunya lelaki di rumahnya tersebut yaitu, ayahnya. Ironi lainnya pun datang kepada seorang Firdaus kecil, di mana ia harus menjadi korban pelecehan untuk pertama kalinya yang dilakukan oleh temannya sendiri.

Keadaan pasca sepeninggalan orangtuanya, membawa Firdaus jauh ke Kairo mengikuti Sang paman.. Mendapat pendidikan serta menjadi lulusan terbaik di sekolahnya ternyata tidak menjamin masa depan cerah baginya. Mahalnya biaya untuk melanjutkan kejenjang berikutnya, serta masalah-masalah internal Sang paman yang kini sudah berkeluarga, membuat Firdaus harus menghentikan langkahnya. Namum sebagai bentuk balas budi kepada pamannya yang telah memberinya pendidikan, Firdaus rela dinikahkan.

Selepas mengalami sebuah kejadian yang membuatnya trauma dan lebih memilih untuk melarikan diri, membuatnya luntang-lantung, tanpa arah di jalanan. Keinginannya untuk menyambung hidup mempertmukannya dengan seorang bernama Bayoumi. Seorang yang ia kira pada awalnya memiliki hati yang baik serta berbeda dari orang-orang yang pernah ia temui dalam hidupnya, kini ia pun harus kecewa bahwasannya Bayoumi tak lain memiliki sifat yang sama saja seperti lelaki yang ia jumpai dalam hidupnya.

Setelah pelarian kesekian yang telah ia alami, akhirnya ia pun bertemu dengan seorang yang banyak merubah hidupnya, pikirannya, serta masa depannya. Bagaimana tidak, semenjak pertemuan serta kesadaran diperalat oleh Sharifa salah el-Dine hari itu, Firdaus yang semula polos dan belum mengetahui arahnya, kini ber-transformasi menjadi seorang kasar yang lembut serta telah memutuskan kemana ia akan membawa dirinya sendiri.



Firdaus yang merencakan kembali pada titik semula ia memulai segalanya kini berhasil pada keberuntungannya. Namun ironi serta rasa kecewa kembali mendatanginya akibat keberaniannya melangkah pada sebuah rasa yang belum pernah ia alami sebelumnya, yaitu jatuh cinta. Rasa sakit luar biasapun meggerayangi badannya, kini ia telah diterpa sebuah badai kecewa yang mendorongnya kembali pada dunia yang dulu pernah ia singgahi, dunia gelap.


“Lelaki Revolusioner yang berpegang pada prinsip sebenernya tidak banyak berbeda dari lelaki lainnya. Mereka mempergunakan kepitanran mereka, dengan menukarkan prinsip mereka untuk mendapatkan apa yang dibeli orang lain dengan uang. Revolusi bagi mereka tak ubahnya sebagai seks bagi kami. Sesuatu yang dipersahgunakan. Sesuatu yang diperjual belikan.” Ungkapan kekecewaanya sebelum benar-benar pergi.



“Menjadi pelacur yang sukses lebih baik, daripada menjadi suci yang sesat.” Dari kekecewaanya tersebutlah Ia berangkat dan memulai segment hidup yang tidak lagi baru.


Kini kesuksesan berada pada dirinya. Ia bisa membeli apapun dengan sesuatu yang telah ia miliki selama ini. Tak hanya fasilitas fisik dan mental, ia pun dengan mudahnya membeli sebuah “kehormatan” atas tuntutan yang mengotori namanya. “Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan.”

Kini sampailah ia pada ironi terakhir pada hidupnya. Setelah apa yang ia dapat, kini tugasnya hanya mempertahankan yang ia miliki dari siapapun yang ingin merenggutnya kembali. Tak pernah ada yang menduga bahwa keinginannya untuk melindugi apa yang telah ia dapatkan serta membuka tabir kebenaran, justru hal tersebut membawanya pada hukuman peradilan dunia. Setelah dinyatakan bersalah membunuh seorang lelaki, ia pun dijatuhi vonis hukuman mati.





Penolakan atas dasar menjaga sesuatu yang telah ia upayakan dengan usahanya sendiri, kini telah menjadi ironi paling pahit dalam hidupnya.


“Lelaki memaksakan penipuannya kepada perempuan, kemudian menghukumnya karena telah tertipu, menindas mereka ketingkat bawah, menghukum mereka karena tlah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau menghantam mereka dengan pukulan.”



Seperti pada novel-novel berbau isu sensitive lainnya, tentu di novel nawal el-sadawi kali ini banyak sekali menuai pro dan kontra di masyarakat luas. Apalagi hanya ditinjau dalam konteks yang tekstual. Namun sudahkah kita mengesampingkan semua hal tersebut dan jauh daripada itu, sebenarnya apa yang ingn Nawal sampaikan dalam novelnya tersebut?



Melalui eksistensi serta serangkaian peristiwa yang dialami Firdaus, nampaknya Nawal ingin menunjukan sebuah realitas-realitas memperihatinkan yang masih saja banyak terjadi khsusnya di negara berkembang, di mana zaman sudah jauh berkembang namun budaya serta praktik-praktik patriarki masih terus berjalan dan kian menyedihkan.



Melalui novel tersebut pula secara tidak langsung menegaskan bahwa, terdapat ancaman-ancaman yang tidak tertulis dari budaya patriarki terhadap para perempuan seperti ; rawannya pelecehan akibat perempuan selalu mendapat kepincangan moral serta hak, kemiskinan yang senantiasa menghantui, serta hilangnya hak penuh atas diri sendiri dan masa depan.





Dengan judul yang menarik perhatian serta kisah dan tokoh yang diceritakan berdasarkan kisah nyata membuat para pembaca lebih mudah memvisualisasikan dalam realita keseharian. Masalah demi masalah yang ada disertai dengan konflik yang cukup bermain pada sisi emosional, membuat saya memutuskan untuk menuntaskannya. Membaca novel “Women at point zero” ini telah sedikit banyak membuka pikiran saya tentang pentingnya menciptakan dan menjunjung kesetaraan. Dan tak lupa pula di dalam novel tersebut banyak menawarkan perpektif-perspektif yang cukup menarik.



Namun kendati novel tersebut juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada. Seperti buku yang keberadaannya sangat bergantung pada judulnya, dikarenkan covernya yang membosankan. Di awal terdapat gaya bercerita yang terlalu memuja dan memiliki potensi mendiskreditkan suatu kaum. Sesuatu yang fatal yang mungkin luput adalah melupakan kesalahan besar tokoh utama dan memilih fokus pada keberpihakannya, di mana terkesan tidak netral. Bagian yang mungkin dapat dinilai fatal bagi sebagian orang, dikarenakan tokoh utama yang diceritakan dalam nada kepahlawanan namun seakan dilupakannya sesuatu yang membawanya pada akhir cerita tersebut.





Mengingat kata pengantar yang ditulis oleh Mochtar Lubis bahwa benar adanya, bahwa buku ini adalah buku yang keras serta pedas, karena selain realitas menyedihkan, di dalamnya terdapat jeritan, kesakitan serta kutukan dari kaum-kaum yang “pincang”. Siapa yang akan mengira buku dengan tebal yang tidak terlalu tersebut, justru dapat membuat para pembacanya merasa seakan-akan tertampar mengetahui bawa ternyata hal tersebut sangat-amat relevan dikeseharian kita. Bahwa kata “empu” yang diambil dari perempuan yang berartinya kehormatan serta kesaktian hanyalah sekedar ucapan belaka, dalam praktiknya ternyata kita masih sangat jauh. Sungguh menjadi refleksi besar untuk kita semua, para pembaca. 


Menurut saya pribadi, secara keseluruhan novel atau karya tersebut sangatlah layak konsumsi, khsusnya yang meyukai perspektif yang gelap. Namun dengan sebuah catatan apabila ingin menikmati novel atau karya tersebut yaitu, pendampingan atau pengawasan untuk kaum-kaum awam, dan keterbukaan, penerimaan, kebijakan, serta pewajaran bagi kaum-kaum konservatif.





After Reading || Sebuah Resensi Novel "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur."

November 22, 2021

 








Proses Perjalanan Menuju Dunia yang Gelap, Penuh Darah Serta Keringat.

-Memoar Seorang Muslimah.





Tentang Novel
Judul Buku: Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur
Penulis : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : Scripta Manent, Tahun 2005.
Cetakan : Cetakan Ke-1 dari 16
Tebal dan halaman : 269 Halaman dengan dimensi 12 X 19 cm.








Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur (Resensi.)




Novel dibuka dengan seutas kejadian yang menggambarkan hampir secara garis besar keseleruhan dari novel ini. Berkisah tentang seorang perempuan tuna susila yang mendapat hukuman akibat melanggar sebuah norma yang amat dijaga oleh sebuah masyarakat, yang mengakibatkan nyawanya harus melayang.

Semua orang dari berbagai macam kalangan -- mulai dari pemuka agama hingga anak kecil yang belum tahu arti sebuah "Dosa", apa itu"Pelacuran" dan "Zina" -- turut andil dalam aksi peradilan yang mereka percaya sebagai adil.



"Kalian sedang melempari batu -- kalian yang ingin membunuh wanita ini -- kenapa kalian ingin membunuh dia? Karena ia seorang pelacur? Karena a melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah satu pun di antara kalian yang belum pernah melacurkan jiwanya, rohnya? kalau ada, biarkan ia melempar batu pertama. Kalian semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini." Kata orang, ia yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa.

(Dikutip dari Anand Krishna, Surat Al-fatiha bagi orang Modern, 1999:64-65)



Apa yang kerap terbesit dalam fikiran kalian, ketika mendengar kata "Pelacur", "Pelacuran, "Zina"? Banyak dari kita mungkin telah sepakat bahwasannya kata tersebut kerap kali menggambarkan sebuah dunia atau pekerjaan yang dinilai sebagai tabu dalam masyarakat yang bersusila.

Tapi sudahkah kita melihat "dunia" tersebut menggunakan kacamata (perspektif) seorang yang berada langsung dalam pelukan dunia yang di mana banyak orang menganggapnya sebagai tabu?

Melalui novelnya, Muhiddin Dahlan atau yang lebih kita kenal sebagai Gus Muh berjudul, "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur" -Sebuah memoar seorang muslimah. Menawarkan sebuah proses perjalanan menuju dunia yang gelap, penuh darah serta keringat.

Di mana menceritakan suatu proses perjalanan iman dan nalar serta perubahan paling drastis yang dialami seorang manusia atas hal yang paling fundamental dalam tradisi masyarakat tempatnya dibesarkan, yaitu agama dan keimanan.



Novel yang menceritakan perjalanan Nidah Kiran, seorang perempuan yang tengah hanyut dalam doktrin organisasi garis keras (atau suatu kelompok jemaah) yang tengah giat-giatnya mewujudkan sebuah kehidupan-kehidupan yang dilingkari dengan firman tuhan. Bagaimana tidak, semenjak pertemuannya dengan Rahmi dihari itu, Nidah seakan-akan hanya memiliki satu cita-cita yang sebenarnya sangat ia cari-cari yakni, berislam secara kaffah. Namun di dalam perjalanannya mewujudkan cita-cita serta kehidupan ideal (Kehidupan yang ditegakan oleh syariat islam) ternyata tidak berjalan mulus seperti apa yang ia bayangkan. di tengah perjalananya, Nidah, ternyata diterpa oleh badai kecewa.

 
Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia yang di idealkannya bisa mengantarnya berislam secara kaffah justru malah merampas nalar kritis sekaligus keimanannya. Setiap pertanyaan yang diajukan berkali-kali mengenai arah serta keresahannya terhadap organisasi tersebut, harus berkali-kali juga dijawab dengan dogma yang tertutup. Kondisi yang membuatnya sangat resah tersebut berulang kali ia gugat dengan seribu gugatan, namun hanya ada kehampaan setelahnya. Tidak pernah ada jawaban atau solusi yang membuatnya puas atas kondisi yang ia alami saat ini tentang arah organisasi, masa depan cita-citanya, serta hal-hal yang ia pertanyakan. Lagi dan lagi selalu dijawab dengan dogma tertutup.



Dalam kekecewaan dan keresahan yang tak lagi tertahankan, ia memutuskan untuk melarikan diri secara diam-diam dari organisasi garis keras tersebut menuju dunia yang baru. Dunia yang penuh dengan pelampiasan, hingga pada akhirnya ia menjadi wanita yang tidak terkontrol. Kekecewaan, kehampaan, kekosongan serta ke-frustasian-nya terhadap apa yang telah ia berikan terhadap perjuangannya untuk mewujudkan "dunia yang ideal" kini harus ia tuai sebagai hasil yang paling pahit dalam proses hidupnya.



Hingga pada akhirnya ia pun terjatuh kedalam "titik nol" di kehidupannya. Dalam proses keterjerembabnya itulah ia melampiaskan seluruh ke-frustasi-annya melalui obat-obatan terlarang, Free sex, bahkan menjadi pelacur. “Aku hanya ingin Tuhan melihatku. Lihat aku Tuhan! Kan kutuntaskan pemberontakanku pada-Mu!” katanya setiap kali usai bercinta yang dilakukannya tanpa ada secuilpun rasa sesal. Dari pertualangan sex-nya tersebutlah ternyata tersingkap topeng-topeng kemunafikan. Wajah-wajah lain yang tak pernah terlihat sebelumnya, wajah-wajah lain dibalik lantangnya suara aktivis-aktivis yang senantiasa meneriakan tegaknya moralitas.



Tentu novel ini akan banyak sekali menuai polemik di sana-sini apabila hanya dinilai secara tekstualnya saja. Jauh daripada itu, sebenarnya apa yang ingin dipaparkan Gus Muh pada Novelnya tersebut?

Melalui eksistensi serta perjalanan yang dilalui sang tokoh (Nidah) Gus Muh sepertinya ingin memaparkan realitas-realitas yang sebenarnya banyak terjadi dikehidupan bermasyarakat: Tentang status sosial, cinta, agama sebagai tradisi, ide soal ikatan sebagai penyempurna, kebobrokan intelektualitas, serta terlalu timpangnya peranan laki-laki.

Melalui novel tersebut juga terdapat pesan-pesan seperti, bahwa mereka yang jauh dari agama, banyak diduga tidak menemukan keimanan terbaiknya dan justru terjatuh kedalam iman yang hitam. Seluruh rasa "kehausan" (alasan penghambaannya) baik berupa pertanyaan dan lain-lainnya malah terus-menerus direspon dengan dogma yang kaku dan monoton.



Dikoda cerita yang berhasil menggambarkan akhir sebuah cerita yang masih berjalan, yang berisi sisi lain dari seorang Nidah. Ia tetap menengadah, memantapkan diri, meneguhkan segenap hati, serta tak lupa mengulangi kalimat pemberontakannya atas Tuhan. Dengan kemantapan hati tersebutlah ia siap masuk kedalam gelap dari gelap.

"Oh Tuhan, izinkan aku mencintai-Mu dengan cara yang lain, menerima kehidupan dengan sepenuh kejujuran. Seperti gemericik air di pematang sawah, serupa cicit-cicit cericit burung yang bercendai diselimuti induknya karena alam tlah mengajariku untuk menerima setiap lembaran kasih-Mu bersama secauk permohonan. Sayangi aku dalam pekat anugerah-Mu. Aku tak punya apa-apa selain hati yang akan selalu menunggu sapa-Mu. Sapa yang gelap dan terkutuk di kala aku terjaga dari tidurku, di kala sang waktu memalak usiaku terus-menerus hingga aku terlelap dalam penyerahan sempurna, dalam pelukan bumi." -Nidah, dalam doa terakhir dimalam terakhir.



Meninjau penulisan serta pesan yang tersirat, nampaknya GusMuh ingin mengetengahkan seperti apa oknum atau individu yang dapat membuat citra islam tercoreng. Sangat jelas serta terlihat melalui penjelasan-penjelasan yang tertulis dalam novel tersebut ditegaskan, bahwa yang rusak bukanlah suatu agama, melainkan individu-individu di dalamnya.



Dengan judul yang tidak biasa serta pemecahan-pemecahan pada setiap bagian yang saling menyusun (pengakuan 1-11), membuat buku ini lebih menarik untuk dibaca. Dibagaian awal cerita yang sudah memiliki kesan serta bahasan yang menari, membuat kita lebih bersemangat untuk terus melanjutkannya. Membaca buku ini, mengajak kita berpikir kritis atas realitas yang terjadi. Dan tak lupa pula novel tersebut menawarkan kita sebuah sudut pandang atau perspektif lain dari seorang yang kerap termarjinalkan dari sebuah dunia yang selalu menuntut dan mengaku susila/bersusila.



Jalan cerita yang mudah serta ringan untuk dimengerti, serta penggunaan nama dan tempat yang bukan fiktif tentu amat-sangat memudahkan para pembaca untuk mengerti dan menikmati jalan cerita serta membanyangkan kejadian-kejadian di dalamnya.
Namun kendati novel tersebut juga tidak terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada. Seperti cerita yang ditampilkan monoton, adanya beberapa bagian pada cerita yang tidak penting dan berkaitan dengan konflik yang terjadi, banyaknya karakter-karakter penting yang peranan serta latarbelakangnya tidak di didalami seperti rahmi, dahiri, midas serta yang lainnya. Metafora yang terkesan memaksakan serta bagian yang paling fatal dan berisiko adalah gaya cerita yang terlalu mendakwa dan menggurui yang mungkin saja membuat sebagian orang memiliki spekulasi buruk mengenai suatu pihak.

Cover novel yang terkesan biasa-biasa saja membuat penampilan yang biasa-biasa saja pula terhadap bukunya. Jika tidak membaca judulnya mungkin saja orang-orang bisa kehilangan ketertarikannya pada novel tersebut. Ending yang bisa dikatakan di luar ekspektasi dan menggantung dikarenakan ending tersebut ternyata adalah awal. Namun, menurut saya pribadi, secara keseluruhan novel atau karya tersebut sangatlah layak konsumsi dengan sebuah catatan kecil yaitu, pendampingan atau pengawasan bagi kaum-kaum awam, dan keterbukaan, penerimaan, serta pewajaran bagi kaum-kaum konservatif.











Menggeser Stigma || Iri; Adalah Reaksi Hati yang Paling Jujur - AnyPerpektif

Oktober 06, 2021




Iri; Reaksi paling jujur yang dialami hati.








Source: Pinterst - Kill the Negative one.













Tulisan ini mungkin menjadi prosa pertama yang ditulis secara struktrural dengan mengangkat tema serta konteks yang bisa dikatakan cukup relevan dengan hal yang mungkin terjadi hari ini dan kemarin-lalu. Berbicara seberapa relevankah prosa ini dengan kejadian yang terjadi di hari ini dan kemarin, jawabannya silahkan bersama-sama kita melihat kedalam diri masing-masing. Inilah AnyPrespektif.



Latarbelakang

Dalam menjalani keseharian, kita kerap kali berdampingan dengan stigma yang dibuat oleh masyarakat akan suatu hal. Atau barangkali secara tidak disadari, kita pun ternyata tlah ditanamkan atau bahkan memiliki stigma sendiri mengenai suatu hal.

( Menurut : https://www.merdeka.com/ “stigma adalah sebuah pikiran, pandangan, dan juga kepercayaan negatif yang didapatkan seseorang dari masyarakat ataupun juga lingkungannya. Stigma biasanya berupa labelling, stereotip, separation, serta diskriminasi sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi diri seorang individu secara keseluruhan.”)

Lambat laun, muncullah sebuah pertanyaan yang mengusik saya terkait bagaimana sebenarnya kita memandang stigma-stigma produk masyarakat,

sudahkah kita mencari asal-muasal mengapa stigma tersebut kerap timbul dan menjadi sesuatu yang lumrah serta diwajarkan keberadaannya oleh sebagian masyarakat? Atau sekurangnya, sudahkah kita mencari akar sebenar-benarnya dari stigma yang timbul pada diri kita sendiri?

Apakah selama ini kita hanya memakan hasil prespektif masyarakat tanpa tahu kebenarannya? Atau malah justru kita menyadari akan hal tersebut, namun memilih untuk bergeming menutup segala kemungkinan (pandangan sebagian besar masyarakat).




//

Dari berbagai macam stigma-stigma yang dihasilkan oleh masyarakat, tema mengenai "iri" kali ini menjadi bahasan yang cukup menarik untuk dibahas.



Dapat disimpulkan bahwa iri sering kali digambarkan sebagai sesuatu yang tidak boleh diteruskan secara berkepanjangan keberadaannya, karena beberapa orang percaya bahawasanya, memiliki sifat iri hanya akan menghambat usaha manusia dalam mencapai hasil terbaik dalam hidupnya, dikarenakan (mereka akan) terlalu fokus kepada pencapaian orang lain ketimbang dirinya(Norma Sosial) serta terkesan tidak mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta (Norma Agama.)

Pandangan tersebut secara tidak langsung memberi potret seolah-olah sifat iri ini merupakan sebuah racun yang tidak dianjurkan bagi seorang manapun meminumnya atau bahkan memberi ruang tempat di dalam diri.

Sering kali hal tersebutlah yang diterima secara bulat-bulat oleh kebanyakan orang. Sehingga tidak sedikit yang beranggapan bahwasaannya, stigma tentang “iri” sebagai suatu sifat yang terkesan buruk dan harus dihindari tersebut adalah sebuah hal yang mutlak. Sampai-sampai melupakan bahwa hal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah prespektif yang kebetulan banyak orang telah setuju.

Satu hal yang saya yakini dengan berani hari ini ialah, bahwasannya iri termasuk kedalam sifat yang tidak bisa dihindari secara instant, dalam arti lain, iri termasuk kedalam sifat yang manusiawi.



//.

Manusia yang tidak bisa terlepas dari sifat kompetitifnya.

Saat merasa iri, manusia secara natural akan berusaha untuk mencapai atau memiliki hal yang ia inginkan. Oleh karena itu, muncullah kompetisi. Artinya, setiap orang yang memiliki kesadaran penuh pasti memiliki “ke-iri-an” entah dengan apapun itu. Tentu, dengan megakui sifat “iri” tersebut, kita tidak sedikitpun kehilangan nilai apapun.

Justru dengan keberadaannya (iri) telah menjadi salah satu pembuktikan bahwa hati serta pikiran kita masih menjalankan fungsinya dengan benar dan baik yaitu, dengan menunjukan sebuah reaksi (iri). Apapun konotasi orang tentang stigma “ke-iri-an” sudahkan mereka sadar bahwa, iri adalah sebuah reaksi jujur yang ditimbulkan oleh pikiran serta hati kita sendiri?



Catatan kecil; Menjadikan iri sebagai ungkapan tentang ketidakberdayaan sementara, minimal sampai menemukan solusi yang lebih baik untuk diri sendiri.





ini bukan tentang iri kepada mereka dan ingin menjadi seperti mereka.

tapi menurutku ku, jikalau aku menjadi mereka saat ini (orang yang ku iri-kan), mungkin semuanya akan jauh lebih mudah, karna untuk mencapai apa yang saat ini sangat ingin kutuju, mereka telah memiliki semua faktornya.

Aku melihat banyak orang, dengan kehidupan yang hampir sempurna. Dengan ditiap langkahnya hampir memiliki akurasi keberhasilan yang tinggi, tanpa risiko apapun.

privilege?

tentu, itu privilege terbesar yang diberikan oleh variable-variablel lain dalam hidupnya. Mereka dengan bebas melangkah kemanapun, mencoba berbagai hal apapaun tanpa perlu memikirkan risiko apapun.

sedang, yang tidak memiliki privilege demikian, cenderung memperhatikan langkahnya, bahkan kebanyakan dari mereka lebih memilih jalur selamatnya, agar tidak menemui kegagalan yang berarti.

Sebagaian besar beranggapan, hidup diusia yang sama dengan nasib yang berbeda-beda. Ada sebagaian yang berutung karena sama-sama bernasib baik, memiliki akurasi keberhasilan yang tinggi karena memiliki variable-variable tertentu (Keluarga, harta, tahta orang tua). Namun sebagian, ada yang “cukup” hanya menjadi pendengar kisah-kisah heroik setiap keberhasilan.

Memilih untuk bangkit dan memilih untuk iri, keduanya sama-sama merupakan opsi yang manusiawi. Betapa sedihnya, apabila memiliki nasib kurang baik di mana tidak memiliki variable-variable pendukung namun dipaksa menjauhkan sifat yang seharusnya manusiawi (iri). Kondisi serperti itu biasanya diisi oleh orang-orang yang tidak diperbolehkan untuk iri, dan selalu dipaksa mengejar ketertinggalannya dari orang-orang yang memiliki variable.

Dikuatkan dengan frasa, bahwasannya semuanya sudah diatur. 

Namun sering kali mereka lupa, jikalau iri pun merupakan reaksi terjujur yang diciptakan oleh hati kita, yang mengisyaratkan jika “saat ini” kita belum bisa memiliki atau mencapai sesuatu itu.

menyadari bahwa kita selalu mempunyai sebuah keinginan serta diikuti oleh ketidakberdayaan dalam mewujudkannya, karena kita dibatasi oleh sesuatu (entah apa itu). Kemudian mengartikan bahwa, apabila kita mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dalam kondisi sadar bahwa kita ingin adalah sebuah hal yang tidak sehat, termasuk beberapa cara untuk memandang bawa ke-irian adalah suatu hal yang manusiawi.



Namun, bukan berarti menggeser stigma tentang iri menjadi hal yang manusiawi dapat semata-mata mengubah stigma yang sedari dahulu telah berjalan dari masa ke masa. Sayangnya tidak demikian.

Tapi dilain sisi, iri sebagai salah satu sifat yang manusiawi dan wajar dapat kita jadikan sebuah pandangan baru yang mungkin saja bisa diterapkan ke dalam diri kita sendiri, minimal.

Bahwasannya kita tidak perlu menutupi ataupun menjauhkan sifat iri karena tuntutan stigma lagi. Dengan mengenali iri sebagai sifat yang manusiawi, kita lebih mudah meng”iyakan” bahwa setiap orang memiliki pontensi ke-iri-an, kemudian kita bisa mengidentifikasi tentang, apa yang menjadi sebab “ke-iri-an.” dengan indentifikasi dan seiring berjalannya waktu kita mulai bisa terbiasa mengatasi sifat tersebut kapapun iri mulai muncul.



Para Pelaku Usaha-usaha Baik.

Kemudian, baik di internet maupun dimasyarakat, orang-orang sibuk dengan caption (di Internet) atau usaha berupa berkata-kata yang bisa dikatakan positif (dimasyarakat) dalam rangka menjauhkan atau mencegah orang dari sifat iri tersebut.

Kemudian saya akan mengambil beberapa caption serta kata-kata templet yang sering digunakan guna menyuarakan itikad baik tersebut, contohnya:

Mendapatkan apa yang menjadi tujuan Anda bukan perjuangan semalam. Anda harus konsisten dan tetap berusaha untuk mencapainya. Meskipun kadang perjalanan untuk mendapatkannya tidak mulus, tetapi jangan berhenti dan tetap lah berusaha.”

Sumber: https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2694522/3-cara-ubah-rasa-iri-jadi-motivasi



Berikut hanyalah satu dari sekian banyak contoh dari internet maupun usaha berkata-kata (di dalam masyrakat.)

Menurut apa yang saya kumpulakan dalam ingatan dan saya coba untuk rangkum, mengenai usaha berkata-kata serta caption tersebut ternyata menitik beratkan bahwasannya, 

pencapaian telah ditetapkan kepada diri masing-masing dan tidaklah elok rasanya merasakan iri terhadap orang lain, padahal hal tersebut (pencapaian) sudah ada porsinya masing-masing.


Dari pernyataan yang terlahir akibat pengalaman tersebut, pertama-tama kita harus amini bahwasannya usaha berkata-kata serta caption tersebut telah banyak menjauhkan orang dari rasa iri (walaupun tidak ada fakta atau data bahwa berapa banyak meraka yang terjauhi dari sifat iri).

Selain itu, kita juga harus banyak mengapresiasi, karena secara tidak langsung si “Pelaku” usaha berkata-kata serta penulis caption tersebut telah banyak mengingatkan kepada banyak orang bahwasannya, ketimbang membuang-buang waktu dengan ke-iri-an baik yang disengaja maupun yang tidak, kita ternyata masih bisa melakukan hal lain yang tentunya akan berdampak jauh lebih baik yaitu, dengan mewujudkan apa yang seharusnya kita wujudkan.


Kita bisa bayangkan, bahwa betapa banyaknya orang yang tidak saling megenal satu sama lain di dunia ini, tetapi mereka semua tetap ingin menebar atau bahkan sudah menebar kebaikan lewat caranya tersendiri.












'Disforia Inersia': Kedua, Serta Proses Melangkahnya yang Tak Lagi Mudah -WIRA NAGARA.

September 08, 2021









Judul: ‘Disforia Inersia’

Penulis: Wira Nagara

Jumlah Halaman: 143 lembar

Genre: Romance

Penerbit: Mediakita


Review Buku "Disforia Inersia": 
Buku Kedua Wira Nagara, Serta Proses Melangkahnya yang Tak Lagi Mudah





Source: Google









Sebab bahagia adalah kesedihan yang tinggal menunggu waktu.

Disforia Inersia



Begitulah kiranya, tulis seorang Wira nagara dimuka buku keduanya tersebut.

Sebuah anugerah rasanya bisa kembali membaca serta menyelesaikan buku karya Wira Nagara ini. Setelah sempat berhasil pada buku pertamanya (Distilasi Alkena) , kini ‘Disforia Inersia’ 
(Buku Keduanya) hadir dengan berbagai macam kisah baru dan tentunya kembali siap menyapa para penikmat lara.

Walaupun jarak antara perilisan buku ‘Disforia Inersia’ cukup jauh dengan Review yang kali ini saya tulis, sehingga memungkinan bagi para pembaca lama yang sampai pada halaman ini sedikit-banyak telah lupa terhadap isi dari buku ‘Disforia Inersia’. Mungkin ini adalah momentum yang tepat bagi kalian untuk bernostalgia dengan buku tersebut. Dan bagi para pembaca yang masih memilik ingatan tentang buku ini, mungkin ini adalah ruang yang tepat untuk merefleksikannya.


Gambaran singkat tentang Disforia inersia

Buku ini termasuk kedalam genre Romance, tepatnya kumpulan cerita 
(tentang Proses Melangkahnya yang Tak Lagi Mudah) 
yang dialami sendiri oleh mas Wira dibeberapa fase dalam hidupnya. 

Mas Wira mencoba menggambarkan latar yang sangat relate dengan masa sekarang ini. Bahwasannya, di ruang apapun kita (Baik maya maupun tatap muka), patah hati akan selalu ada. Untuk mengetahui lebih luas tentang ruang apakah itu, Silah baca lengkapnya melalui pdf maupun bukunya secara legal.





Seperti biasa, di Review buku kali ini mungkin secara tidak sengaja termuat unsur spoiler. Bagi yang belum berkesempatan untuk membacanya dan khawatir pengalaman membacanya terganggu, silah kembali kapanpun, jika diperlukan.

 Namun, pabila Review singkat ini dirasa membantu untuk refrensi, tentu saya akan memaparkan dengan cukup jelas, melalui apa yang saya tangkap setelah membacanya.



Disforia Inersia’ dalam Definisi, Interpretasi dan Analogi Penulis.

Sedikit membahas tentang latarbelakang dari judul buku tersebut, yang sekaligus menjadi salah satu bagian di dalamnya. Yaitu, 'Disforia Inersia'. 

Biar ku jelaskan, Disforia ialah keadaan tidak tenang/gelisah atau ketidakpuasan yang mendalam. Sedangkan Inersia adalah kecenderungan semua benda fisik untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya. Maka Disforia Inersia adalah tentang kegelisahan seseorang yang masih menolak untuk melangkah setelah berbagai hal yang menyiksa batinnya; yang pada akhirnya harus dia terima. *ugh perjuangan untuk move on itu berat ya :’)


Tentu bagi para pembaca buku sebelumnya (Distilasi alkena) tema dalam latarbelakang tersebut tidaklah terlalu asing terdengar, keduanya sama-sama memilik pandangan bahwa puncak tertinggi dari mencintai adalah dengan Mengikhlaskan sebuah ikatan.

Seperti pada buku pertamanya, Mas Wira kembali menerapkan gaya penulisan yang saya kira telah menjadi ciri khasnya, yaitu dengan meninterpretasikan banyak bahasa ilmiah. 

Namun yang menarik dari buku keduanya kali ini justru terdapat sebuah frasa dari bahasa jawa 
“Wisa kentir ing marutha.” 
yang cukup membuat saya tertegun mengakui kemampuan anologi ala mas Wira.



Untuk siapa buku ini sebaiknya direkomendasikan?

Sebenarnya buku ini ramah untuk kalangan remaja dan yang ingin bertransisi megakhiri masa remajanya. 

(Berdasarkan apa yang saya analisa) buku ini mungkin akan cenderung survive dikalangan usia remaja dan fase akhir remaja, mengingat hal-hal berbau picisan/romance kini yang banyak menggunakannya adalah remaja. 

Namun tidak menutup kemungkinan buku ini juga ramah diusia yang lebih tua. Siapa tahu?



Bicara soal harga dan kembaliannya(apa yang bisa kita dapatkan)?

Menurut saya pribadi, tentu cukup sebanding di antara keduanya. 
Dengan harga yang masuk akal, buku ini menawarkan banyak hal-hal seru baik di luar (Cover-nya); Dengan gambar yang langsung dilukis oleh Mas Wira, memiliki padua warna yang tidak terlalu ramai, membuat kesan buku ini cukup bagus dan menarik perhatian. 

maupun isinya (Kumpulan cerita) dengan kata-kata yang bisa sesekali kita kutip dan mungkin dijadikan teman untuk mengisi waktu luang karna notabene buku ini mudah dipahami dan ramah untuk dibaca berulang.





Hal-hal yang kusuka, setelah membaca buku ini:

-Buku ini tidak terlalu kompleks. Pada dasarnya isi dari buku ini adalah kumpulan kisah atau cerita, sehingga tidak diperlukan usaha atau waktu yang banyak guna memahami tiap alurnya.

- Keunikan gaya pada penulisan (Tidak hanya dikedua buku ini, namun disosial medianya juga.)

Banyaknya judul dengan menggunakan analogi dari berbagai macam bahasa ilmiah, seringkali membuat kita turut dalam penasaran akan maksud sesungguhnya. 

Minimal kita mulai mencari definisi jelas dari kata setiap tulisan yang menggunakan bahasa ilmiah tersebut, barulah kita bisa ikut meng-analogikannya



Hal-hal yang kurang saya suka, setelah membaca buku ini:

Sebenarnya ini termasuk dalam bentuk kritik saya. Di zaman yang pesat, di mana semua hal yang berbau picisan dan romantisme kini tlah menjadi hal yang klise (untuk sebagian orang). 

Ada kemungkinan terburuk (Menurut saya) bahwa buku ini akan ditinggalkan oleh pembaca lamanya yang dahulu pertama kali membaca buku ini merasa terkesan. Mengapa demikian? 

Jujur hal tersebut terjadi pada saya. Termakan oleh banyaknya hal tentang picisan dan romantisme yang kini berseliweran di mana-mana, membuat citra pandang saya terhadap buku ini (secara utuh dari sudut pandang orang awam) lambatlaun memudar dan kehilangan ke-Exclusive-annya. 

Namun, pabila kita mau mencari sesuatu yang berbeda dari buku ini meskipun kita tlah membacanya berulang, mungkin buku ini menjadi tidak membosankan, bahkan ramah untuk re-read. (Di tambah buku ini sendiri adalah kumpulan cerita.)





Lalu, apa yang saya tangkap dari Buku Disforia Inersia ini (moral cerita dalam prespektifku):

Adalah mungkin apa yang kita rencanakan sering kali berujung pada hal-hal yang sebetulnya tidak kita ingnkan. 

Apa yang selalu kita harapkan baik (Untuk kita) ternyata bukan hal tersebut yang dimaksdukan untuk kita. 

Sehingga kita harus menata hati sedemikian rupa guna siap agar ketika apa-apa yang kita inginkan kelak tidak sesuai lagi, hati kita bisa terbiasa. Juga terdapat nasihat seperti dimuka buku tersebut, saya rasa banyak lagi hal yang akan ditemukan, tergantung proses kita dalam memahami setiap esensi dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.



Oh, Iya! Tentang Disforia Inersia, dan Karya Selanjutnya dari Wira Nagara.




Source: Google- Sinopsis 'Disforia Inersia'


 
Buku ini saya katakan bisa menjadi teman yang baik kala mengisi waktu luang. 

Ringan, relevan, asik. Mungkin tiga kata tersebut menjadi dasar penilaian saya setelah membacanya. 

Tentu saya sangat berharap mas Wira untuk terus menulis dengan gaya menulis yang khas. Bahkan saya tetap berharap gaya tulisan ini akan diterapkan kembali dibuku-buku selanjutnya. 

Sebagai orang yang sudah "agak" lama mengikuti mas Wira disosial media, membaca buku-bukunya, menelaa setiap interviewnya, tentu saya amat berharap adanya karya-karya berikutnya.

Tentu dengan ketidakpuasaan serta syukur yang berlimpah-limpah, saya mengucapkan terimakasih karna sudah mampir dan membaca ulasan ‘Disforia Inersia’ versi ini sampai usai.

Demikian. Ulasan buku 'disforia inersia' ini saya akhiri.

FOLLOW @ INSTAGRAM

About Us