Ruang refleksi diri, ruang berbagi.

After Reading || Review Buku: 'The Alchemist' - Paulo Coelho || Kesederhanaan ala Coelho.

Agustus 22, 2021




Review Novel
'The Alchemist' – Paulo Coelho




Sumber: Google.

 



The Alchemist – Paulo Coelho. Atau jika diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia menjadi: Sang Alkemis, karya Paulo Coelho. Mungkin beberapa dari kita yang sampai pada halaman ini pernah mendengar atau bahkan sudah tidak asing lagi dengan novel tersebut. Novel yang pertama kali terbit di Brazil pada tahun 1988 ini, diperkirakan sudah laku terjual sebanyak 65 juta copy, serta diterjemahkan kedalam 80 bahasa, bahkan lebih. Angka yang cukup -- bahkan bisa dibilang fantastis untuk sebuah novel terbitan 1988 tersebut. Dibalik itu semua, terbesit sebuah pertanyaan tentang -- 


apa yang membuat novel The Alchemist karangan Coelho tersebut banyak dibaca dan diminati begitu banyak orang, mungkin juga dibeberapa kalangan?

Namun sebelum membahas dan mereview lebih jauh tentang novel ini, izinkan saya memberikan beberapa pemberitahuan yang bisa jadi sifatnya penting, bisa jadi tidak. di review novel berikut ini, tentu mengandung unsur spoiler; Kepada siapapun yang takut akan ‘pengalaman membacanya’ rusak akibat review kali ini, silah kembali kapanpun, jika diperlukan. Namun, apabila dirasa dengan membaca ulasan ini dapat menghemat sebagian waktu, tanpa cemas pengalam baca terganggu, saya sebisa mungkin akan memaparkan review secara lengkap, menurut apa yang saya tangkap.

Tentu, saya amat sangat menganjurkan siapapun untuk tetap membaca novel ini dilain hari atau dilain kesempatan. Tentu implementasi setiap orang berbeda, dan fantasi waktu membaca setiap orangpun, berbeda-beda. Membuat setiap dari kita memiliki makna yang berbeda pula selepas membaca buku tersebut secara menyeluruh.Tanpa tambahan apapun, kita akan segera masuk kedalam reviewnya.


Latarbelakang.

Sebelumnya, terlebih dahulu saya menceritakan latarbelakang; perjalanan menuju buku ini, dan berikut alasan untuk tetap membacanya hingga selesai. Bermula ketika saya berada disuatu forum diskusi interweb bernama, QUORA . Singkat cerita, waktu itu saya sedang mencari tahu tentang kehidupan seorang tokoh yang berkaitan dengan fenomena psikoanalisis, bernama Narcissus. Rasa penasaran dengan berbagai macam versi “Ending” dari seorang Narcissus, membuat saya melalukan riset kecil. Singkat cerita, sampailah pada sebuah kontent bacaan (Sebuah ruang di Quora, tempat kita mencari pertanyaan yang kita tlah ajukan.) di dalam kontent bacaan itu, ternyata termuat sebuah ending dari kisah Narcissus yang membuat saya cukup terpikat. Ternyata ending tersebut termuat dibagian prolog sebuah buku. Buku yang mulanya saya tidak ambil pusing dengan isinya. (Pada saat itu, saya hanya berniat mengutip dibagian Prolognya saja, sebagai Refrensi untuk sebuah tulisan.)

 

Namun pada akhirnya, saya tetap membaca buku tersebut secara utuh, guna menambah refrensi tentang Narcissus. Namun nyatanya, dari awal cerita hingga pada ending novel tersebut, tidak lagi ditemukan nama Narcissus di dalamnya. Alialih merasa rugi, nyatanya novel ini justru menampilkan hal-hal diluar ekspektasi saya.



Bedah isi.

Baik, Saya akan coba untuk menceritakan secara garis besar tentang Novel The Alchemist, dari apa yang saya tangkap.

Garis Besar Novel ini bercerita tentang -- seorang anak yang terlahir di sebuah kota bernama, Andalusia. Yang kemudian bercita-cita ingin menjadi seorang penggembala dan berkeliling antar benua. Tergambar (dalam latarbelakang kisah tersebut), bagaimana kegelisahan seorang Santiago (gembala) akan sebuah mimpi yang kerap kali mengusik hari-harinya. Ia bermimpi; diperlihatkan sebuah petunjuk  tentang harta karun yang terkubur disebuah padang pasir, yang digadang-gadang berada di Mesir.

Di dalam proses perjalannya -- sampai dengan menemukan apa yang ia cari-cari, kerap kali ia menemukan hal-hal baru yang lambatlaun mengubah hidupnya. Mulai dari bertemu wanita gipsi si penerjemah mimpi, yang dalam prasangkanya adalah seorang penipu. Bertemu seorang yang mengaku raja dari sebuah daerah bernama Salem, Ditipu seseorang yang satu bahasa dengannya, berjualan gelas kristal, hingga ikut pada rombongan karavan yang akan menuju gurun pasir.

Satu hal yang nantinya akan menarik, apabila berbicara tentang; bagaimana Coelho mengemas kesederhanaan sebuah kisah perjalanan seorang penggembala, hingga menjadi pada akhirnya sebuah ending yang mungkin akan terus diingat oleh setiap pembacanya.

Tentunya, saya juga akan membahas hal-hal yang krusial dan tentunya menarik untuk dikomentari. Mulai dari alur, tokoh, masalah yang disajikan, klimaks, penurunan, pengembangan tokoh, dan terakhir akan ditutup dengan ending.

The Alchemist sendiri, diceritakan melalui sudut pandang orang ketiga, dengan alur yang bisa dibilang “Hampir” keseluruhannya bersifat maju. Kata “hampir” sendiri menurut saya muncul karena, dibagian ending dari novel ini menyajikan sebuah flashback yang sebetulnya tidak terlalu intens dan tidak bersifat Reflection, sebagaimana yang sering kita temui.

Menurut saya, tidak diperlukan banyak usaha ataupun waktu yang panjang untuk memahami alur cerita yang disajikan oleh Coelho. Di ceritakan dalam sudut pandang orang ketiga, serta alur yang didominasi “satu arah (maju)”, membuat novel ini dengan sendirinya membawa keiikut sertaan kita dalam setiap perjalanan yang disajikan Coelho disetiap latarnya.

Setidaknya, ada dua tokoh yang saya suka betul, di luar dari anak ini: Sang pemandu unta dan Sang alkemis itu sendiri. Keduanya mulai menampakan eksistensinya dipermulaan halaman 100an hingga 100 menuju kebawah. Sang pemandu unta; dengan pola berpikir serta prinsip hidup yang disajikannya, berikut dengan kata-katanya yang membuat saya cukup terkesma. Justru tanpa disadari hal tersebutlah yang membuat citra tokoh “si anak gembala” Semakin hari mengalami kemajuan. Kemudian Alchemist itu sendiri. Solusi yang selalu ia tawarkan membuat saya atau bahkan sebagiankdari kita merasa “cukup” mendapatkan sebuah kepuasan. Dikarenakan, hadirnya Alchemist membuat setiap penyelesaian sebuah masalahnya menjadi berangsur cepat, kemudian kembali disajikan oleh masalah baru. Menurut saya, hal tersebutlah yang justru membuat novel ini selalu penuh akan hal baru untuk diexplore

Kemudian menuju bagian klimaks. Dengan tempo klimaks yang bisa dibilang; relatif jauh lebih singkat, ketimbang novel-novel yang tlah saya baca sebelumnya. Walaupun demikian, Coelho di sini cukup berhasil membawa saya untuk tetap mengikuti dan membuat ceritanya seakan tetap padat dengan kesederhanaan yang ia buat. Dengan masalah yang datang silih berganti, diikut dengan solving yang brilliant ditiap bagian, membuat Si anak gembala lebih terlihat hidup. Hal tersebut terlihat dari proses masalah satu ke lainnya. 

terakhir, ditutup dengan hal yang hampir krusial disetiap novel, menurut saya. Coelho lagi-lagi menawarkan sebuah ending dengan kesederhanan di dalamnya. Ia berhasil membuat sebuah akhir cerita yang mungkin akan terus diingat oleh pembacanya; khususnya di novel Alkemis kali ini. Betapa Coelho memberi gambaran bahawasannya, hal-hal yang luar biasa justru adalah hal-hal yang sederhana. 

Ending yang menurut saya paling kental dalam hal pro dan kontranya. Sebagian pembaca justru kecewa dengan ending yang disajikan Coelho. Sebaliknya, beberapa lagi justru terkagum, tentang bagaimana cara seorang Coelho menutup kisah tersebut. Jika kalian tanya, 

bagaimana pendapat saya tentang endingnya? 

 Mungkin saya adalah salah satu yang sedari awal membaca, sudah terkagum akan pemilhan tiap kata yang beliau gunakan. Terlebih, dengan sisipan-sisipan kesederhanaan dibeberapa bagian, yang menurut saya membuat novel ini hidup karena mudah untuk dimengerti.

Di akhir bagian bedah isi, mungkin saya akan sedikit menuliskan pengalaman saya setelah membaca keseluruhan cerita The Alchemist. Perlu diingatkan, bahwasanya novel ini bergenre; Adventure, fantasy. Yang seharusnya mungkin disajikan dalam ratusan halaman, serta puluhan bagian BAB yang membuat dimensi buku menjadi jauh lebih tebal. Namun buku ini justru dikemas dengan 215 halaman, diikuti dimensi buku yang tidak terlalu tebal. 

Tentu diawal membaca, saya sempat mempertanyakan -- sejauh mana buku ini bisa membawa -- menuju sebuah perjalanan yang dimaksud. Dikarenakan jumlah halaman yang mungkin bisa dibilang jauh lebih sedikit, ketimbang novel-novel perjalanan-fantasi lainnya. Kini semua pertanyaan serta keragauan saya pun tlah berujung pada decak kagum. Sedari awal cerita sampai kepada akhir. Perpaduan antara unsur fantasi serta perjalanan yang bisa dibayangkan, membuat saya memutuskan untuk menyelesaikan buku ini.





Hal-hal yang kurang saya suka, setelah membaca buku ini:

1. Bagian sampul. Jujur, pertama kali saya melihat cover novel ini, mengingatkan saya kepada buku-buku cetak sewaktu Sekolah Dasar. Namun setelah mencari tahu lagi, cover The Alchemist ini ternyata banyak dan bermacam-macam. Termasuk yang saya jadikan header dari tulisan ini, menurut saya itu versi terbaik dari cover novel ini. Walaupun banyak kata-kata tentang “Don’t judge book by the cover.” Toh, semua itu kan selera. Nyatanya buku ini tetap laku.

2. Part yang berlebihan. Menurut saya, terdapat hal-hal yang harusnya apabila diteruskan secara konsisten, maka buku ini medekati kata sempurna. Sebagaimana cerita dimulai, sampai memasuki beberapa kali klimaks, cerita terus menerus mengalir dengan mengedepankan logika, prinsip hidup, perenungan, berfikir rasional serta filosofis. Hampir semua berbau materialis. Walaupun tak luput dari pesan spiritualis serta pengetahuan mistis. Terdapat satu bagian, menurut saya terlalu berlebihan dan terkesan bertele-tele (dalam hal fantasinya), kurang rasanya, ketika sedari awal kita terus menerus digiring dengan hal yang berbau materialis.



3. Alchemist; hampir tak tersentuh. Tokoh tanpa celah. Setelah mengakui bahwa Alchemist menjadi salah satu tokoh yang saya suka, nyatanya hal tersebut justru berubah menjadi sebuah paradox. Dari awal kemunculnya, Alchemist digambarkan dengan wujud yang berwibawa, berilmu, terkesan memiliki semua pengetahuan diluar orang awam. Hal tersebut ternyata dibuktikan hingga akhir cerita. Alchemist, menurut saya adalah tokoh yang digambarkan selalu beberapa level lebih tinggi dari orang yang ia temui. Membuat saya berspekulasi, bahwasannya Alchemist adalah utusan langsung dari Maha Sempurna.



Berlanjut kepada

Hal-hal yang saya suka, setelah membaca novel ini:

1. Buku ini banyak menawarkan pelajaran dikehidupan sehari-hari. Dimulai dengan bermimpi hingga beranjak mewujudkannya.

2. Kata-kata dan quotes yang diberikan berbagai tokoh juga mungkin menjadi salah satu kutipan yang nantinya akan diterapkan kedalam kehidupan sehari-hari. Begitu berlimpah, khususnya tentang bagaimana sebuah cita-cita harus diwujudkan.

3. Hampir semua tokoh bisa diteladani dan mudah untuk menjadikannya acuan dalam meniru prinsip hidupnya.





Implementasi dan hal-hal yang saya pelajari, setelah membaca novel ini:



Awal dari perjalanan besar santiago adalah berasal dari sebuah mimpi. Semenjak mendapat mimpi itu, Santiago mulai menggembala dan berkelana keseluruh tempat yang ia belum pernah kunjungi sebelumnya. Secara tak tersurat, pesan menggembala serta berkelana berarti ditujukan untuk mencintai kebebasan dengan cara menyingkirkan hal-hal yang menghambat: rumah, domba, anak gadis si penjual wol. Bahwasannya, justru kerap kali yang menghalangi kita untuk meraih takdir itu, ialah dirimu sendiri.



· . Bahwa takdir adalah yang terpenting. Saya tidak tahu relevansi antara takdir dan cita-cita, tapi keduanya amat berkaitan beberapa kali dalam buku ini. Bahkan, Santiago sempat dua kali mendapat ancaman kematiaan. Sesaat selepas menerjemahkan mimpi seekor elang yang jatuh dan ketika di padang pasir dan saat menjadi tawanan perang antar suku. Keduanya hal tersebut ia alami karena ia dalam proses mengejar takdirnya. Diikuti dengan kata-kata Sang Alchemist “mati dalam mengejar takdir, jauh lebih baik daripada jutaan orang yang mati dengan tidak mengikuti takdirnya.”



· Santiago begitu cinta dengan apa yang telah tertulis untuknya (Maktub.) dan mungkin, hanya takdirnya yang ia punya, sebab itu ia mulai belajar untuk mencintainya, mengejarnya, dan mewujudkannya. Serta ia pun yakin akan takdirnya, dibuktikan oleh kata-kata sang raja Salem yang masih ia ingat, dan ternyata memang benar adanya: “jika kau menginginkan dan mengejar takdirmu, maka semesta akan bahu-membahu membantumu, oleh sebab itu, kau harus bisa membaca seluruh pertandanya.” Namun, sering kali manusia takut untuk megejar takdirnya, karna menurutnya itu hanya akan membuatnya kecewa, setelah ternyata yang selama ini dibayangkan tidak seindah saat hal tersebut diwujudkan. Itulah yang disebut sebagai, hati manusia; karna rentan dan cenderung takut menderita. 

Sesaat akan di berikan sebuah ganjaran; selepas ia meceritakan mimpinya kepada petinggi oasis dan terancam akan dibunuh -- apabila yang mimpi yang ia terjemahkan salah. Dan ketika datangi oleh seseorang yang bertunggang pada seekor kuda, (Alchemist) yang hendak menebas Santiago, ia (Santiago) pun berkata: 

“mati hari ini atau esok sama saja. kau mati hari ini itu tandanya tuhan tidak ingin merubah nasibmu. Sedangkan jika kau mati esok, tandanya tuhan masih ingin mengubah nasibmu.”

Betapa ajaibnya kata “Maktub.” Yang tlah ia dapat, dan kini ia terapkan.

Sesuatu yang luar biasa, ternyata adalah hal yang sederhana. begitu kiranya isi buku ini. Santiago menggembala, bertemu dengan banyak orang yang sedikit-banyak telah merubah dirinya. menyinggahi banyak tempat; membuahkan pengalaman baru. afrika, pasar, padang rumput, toko kristal, karavan, padang pasir, oasis, piramida. Ia berhasil mewujudkan takdirnya, ketika sebagian orang  justru  memilih untuk tidak mewujudkannya; karena hanya impian itulah yang membuat sebagian orang itu masih tetap hidup dan bertahan hingga saat ini. Mereka takut, apabila mimpi yang selama ini mereka kubur sebagai alasan mereka untuk hidup dan bertahan, alih-alih hasilnya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Mereka takut kehilangan harapan tersebut, dan tetap memilih untuk mengunci impiannya rapat-rapat. 

Lalu, kenapa kita diajak berkelana jauh hingga ke mesir, padahal harta karun tersebut ada di dekat tempat tinggalnya; harta karun yang ia mimpikan terletak di mesir ternyata ada dibawah pohon tempat masa kecilnya mengumpulkan domba-domba. 

Menurut saya, adalah untuk sebuah pengingat. Bahwasannya hal-hal yang kita butuhkan, mungkin, banyak dari mereka mereka berada didekat kita, hanya kadang kita yang tidak bisa membaca pertanda. 

Tentu terakhir. "mengapa demikian? semua hal terjadi?" mungkin saja semua itu, semua perjalan serta semua pertemuan itu, sudah dituliskan oleh satu tangan yang sama, “Maktub.”



Demikian.





Novel tersebut dikhususkan, atau cocok untuk siapa saja? Dan bagusnya dibaca ketika umur berapa?



Tentu, novel ini dikhususkan untuk siapa saja, kalangan apa saja, yang siap dan berminat untuk membacanya. Selain n universal, novel ini juga berisi banyak pelajaran yang mungkin bisa diambil serta diterapkan, terutama untuk mencitai dan menerima sebuah takdir. Dan tentang bagaimana sebuah cita-cita dan tujuan adalah yang terpenting.





Terakhir. Dengan adanya Review novel kali ini, ditujukan sebagai sebuah refleksi (khususnya diri saya sendiri). Dan tentang bagaimana keterbatasan saya untuk menyerap serta mengingat-ingat hal krusial yang disajikan di dalam novel ini. Oleh sebab itu, saya menjadikan Review novel kali ini sebagai sebuah arsip kecil, baik untuk saya dan untuk pada sebagian dari kita yang mungkin membuthkan. Tentu, saya tidak akan pernah puas dengan apa yang saya tangkap hari ini dan kemarin, mungkin saja jala yang diberikan tidak terlalu besar, atau mungkin memang seperti itu adanya. Tapi mungkin itulah alasannya, saya akan selalu kembali mengulang hal demikian, berharap menemukan sesuatu yang lebih dan lebih.



Cerpen: Eskrim Minggumu - Nocturn || ke-2.

Juli 06, 2021

 


Illustrasi cerpen Es krim Minggumu




"Es krim Minggu mu."

 

Jadi, minggu lalu, tempatnya tidak begitu jauh dari tempat orang-orang duduk sambil ngobrol. Aku liat anak kecil yang lagi dangak-ngelongok, kayanya si penasaran. mungkin, kalau aku masih seumuran dia, aku engga cuma berusaha lihat, mungkin langsung introgasi mamang-mamangnya, "mang, emangnya kalo vanilla sama coklat enak?" atau, cuma coklatnya aja yang kerasa?" padahal toh nantinya-- anak-anak. Ucapnya

 dalam mimpimu, ia terus saja bercerita tentang rasa-rasa pada eskrim. ditengah marak ragam rasa pada eskrim, untung yang kamu dengar hanya coklat, vanilla dan strawberry, jadi kamu bisa kenyang hanya dengan mendengar tanpa harus menerka-nerka rasa baru. rasa yang nampak begitu nyata sepertinya berhasil membuatmu malah ingin tidur dalam jangka waktu yang lebih panjang.

di nun jauh, apabila tergambarkan maka ialah sebuah tempat dalam lukisan, sebuah tempat seperti dalam negri dongeng, manabila kamu lihat, niscaya yang kamu lihat ialah bentangan menghampar.

"lalu apakah mereka hidup layaknya dongeng juga?" dengan tanya, tanganmu menopang dagu.

"maksudmu?" tanyanya agak heran.

kamu mencoba menerjemahkan maksudmu menjadi kata-kata.

"aku agak bingung sebenarnya," kamu mencoba tegap dan perlahan menurunkan tanganmu dari dagu. "maksudku, dengan tempat seperti lukisan dan layaknya negri dongeng, apakah penduduknya juga hidup demikian?"

lalu ia menundukan kepala sejenak, kemudian menaikannya seperti teringat akan sesuatu, seraya berucap:"aku pernah mendengar sebuah kisah yang mengatakan jika di sana itu, kamu bisa hidup dan menjalani hidupmu hanya dengan kata-kata. bahkan kamu bisa merasa kenyang serta bahagia hanya dengan mendengar kata-kata."

"kalau begitu aku tidak ingin menjadi lelah, aku hanya ingin menjaga eskrimku agar tetap beku dan menghabiskannya dalam kondisi demikian." lontarmu dengan polos.

"tidak hanya itu, kamu juga bisa menikmati eskrimmu sebanyak yang kamu mau." lantas jidatmu mengkerut, wajahmu mulai kecut, kamu mendengar pernyataanya seperti orang tidak yakin.

sudah lima jam lebih apabila dihitung dalam waktu normal, ia terus saja bercerita. kamu yang semula merasa kenyang dengan tiga rasa pada eskrim, perlahan merasakan haus.

matahari begitu dekat dengan tenggorokanmu, air selokan dipinggir halte tak ada yang bergerak, angin menjadi berwarna dan beraroma. kamu mulai letih, wajahmu mulai lelah, badanmu mulai pegal menjalar karna selama lima jam lebih waktu normal, kamu hanya diam-duduk, dan tersenyum mendengar ceritanya. sempat muncul dibenakmu, bagaimana bisa aku merasakan lelah yang begitu padahal aku hanya duduk, dan cerita yang ia bawakan juga seru.

 berselang, terhitung setelah tiga puluh menit selepas kamu berkata demikian, kamu mendengar bunyi yang mengalun, angin berjalan melewatimu, kamu hanya celingak-celinguk mencari, bertanya,"apakah warna angin barusan? rasanya sejuk dan membuatku sedikit mengantuk." sayangnya itu hanya kamu simpan untuk dirimu.

angin terus memelukmu dari belakang, mengusap kelopak matamu, berjalan melewati kupingmu seraya berbisik dengan hal yang hanya kamu yang tahu, tentang apa yang dibisikan angin. perlahan pandanganmu menjadi ada lalu tiada, ada lalu tiada, ada lalu tiada. kepalamu mulai turun tapi berulang kali kamu mencoba mengangkatnya kembali. sampai singkatnya nafasmu tlah menjadi ringan, leher dan kepalamu tlah menjadi penurut, tapi samar-samar kamu masih mendengar ia bercerita. 

ia bercerita dengan wajah yang sama, dengan bibir yang tidak pernah terlihat kekeringan saat kata demi kata berloncatan keluar, serta dengan kata-kata yang hampir mendekati nyata. sebelum kamu benar-benar hilang, kamu memastikan sekali lagi bahwa ia masih benar-benar bercerita, kamu tak tahu agar atau untuk apa memastikan itu tapi ntah, mendengarnya membuatmu merasa senang.

 cuaca tetap saja terang tapi untungnya tidak terlalu terik. sedari tadi kamu merasakan gatal-gatal pada betis dan lenganmu. sembari bangkit kamu mencoba menepuk-nepuk celana belakangmu seperti membersihkan sesuatu. beberapa menit kamu hanya terdiam, tidak terlalu lama mungkin hanya tiga menitan waktu normal. dengan kebingungan kamu mencoba mengingat-ingat kejadian dan tempat terakhir kali kamu berada.

"di sini ada orang tidak? aku numpang berteduh, ya?" ucapmu, ketika melihat bangku yang duduk di bawah pohon rimbun. tanganmu meraba bangku, tidak tahu untuk apa, kamu memang suka seperti itu. dengan gerakan yang perlahan kamu mulai duduk, diiringi celingak-celinguk untuk memastikan bahwa hanya ada kamu sendirian. dalam posisi setengah bersandar pada kedua tanganmu yang kebelakang, kamu menghela nafas yang tidak begitu panjang, kamu dengan celingak-celingukmu yang khas kembali memastikan keadaan sekitar, namun hanya bunyi angin. kamu tersenyum sembari merebahkan tubuh kecilmu pada bangku dari bambu itu. kamu melihat keatas, tepat kecelah-celah daun, cahaya seperti berebutan untuk masuk. hanya ada suara angin menyenggol-nyenggol daun, dan suara hewan ternak yang entah dari mana asalnya. bentangan hijau lengkap dengan landskap sawah, angin yang mengenai orang-orangan sawah.

kamu melihat sebuah bukit begitu hijau, di bawahnya terdapat karung-karung gandum tersusun sepertinya itu habis dipanen, sayur-mayur, padi, serta hewan ternak yang berhamburan, lalu tiba-tiba terdengar gemericik air yang membuat hatimu sedikit damai, karna bukan hanya menenangkan tapi kamu bisa kapanpun mandi serta mengambil air tersebut.

angin terus saja berbicara kepada alam, bercipak-cipak di air, berlarian di rumput rumput, serta membunyikan lonceng-lonceng dari hewan ternak. dengan hati dan fikiran yang damai perlahan kamu memejamkan mata, meminjam nafas pada tempat itu.

"tempat yang ia ceritakan itu--" dengan mata yang terpejam kamu hanya tersenyum mengingat itu. "pasti tempat itu di dekat-dekat sini." sambungmu dengan tertawa kecil.

perlahan rintik air jatuh tepat pada keningmu, menetes dan membuatmu sontak membuka mata. kamu terbangun dihadapan alun-alun warga, kembali celingak-celinguk mengingat apa yang barusan terjadi "kayanya tadi cuma mimpi." ucapmu sembari berdiri dan meregangkan badan. "aku tadi mimpi apa, ya?" kamu mengucapnya sesekali sambil mencoba mengumpulkan ingatan-ingatan. seperti halnya orang yang bangun tidur, kamu pun menyerah untuk mengingatnya. 

kamu berjalan dengan kebingungan yang menggerogoti rambutmu, kamu tidak gatal tapi tanganmu terus saja menggaruk kepalamu. kamu terus berjalan dengan kertas yang putih dan tulisan yang tak pernah bisa kamu baca, namun pada keyakinanmu, suatu saat tulisan dan penulis itu akan muram. langkahmu berpadu antara bumi yang kamu pijak dan kertas yang kamu injak, disepanjang perjalananmu menuju rumah kini terasa berbeda, kamu menemui pohon dan tiang-tiang pinggir jalan kini berubah menjadi makanan-makanan sehat, alat kepintaran, serta jaminan kebahagiaan masa tua. kamu tergiur tapi kamu tahu bahwa 

"ini  bukanlah negri yang ia ceritakan, ini kan negri tempatku tinggal, mana mungkin semua itu ada." tawamu tipis dan sedikit psimis.

haripun semakin sore namun kamu tak kunjung sampai kerumah. 

"rumahku di mana, ya? perasaan kemarin mash di sini, aku kan cuma tertidur sebentar masa ada yang membawa kabur." waktupun berjalan jauh, kamu hanya merenung melihat awan, sembari berharap negri diatas awan itu jatuh ketempat di mana kamu duduk sekarang.

tak pakai waktu lama, tuhan tahu, doamu terkabul. kamu melihat sesuatu yang terang dari atas. dalam penglihatanmu, semua nampal putih dan terang. kamu mulai merasa sedikit guncangan, itu membuatmu khawatir.

"ini ada apa ya, tuhan?" suaramu mengecil.

kamu hanya terperangah melihat keatas dan semakin kehilangan dirimu perlahan, pelan, pelan hingga kamu merasa sepenuhnya kehilangan.

 kamu tak bermimpi, kamu hanya terbangun di tengah taman dengan keadaan lapar dan haus. kamu tak tahu waktu itu pukul berapa, yang kamu dengar hanya suara adzan itu lumayan jauh. kamu hanya mengusap mukamu seperti gerakan selepas amin. kamu mengambil botol air sisa yang ada ditanah rumput. terdengar botol itu mengkerut dan kamu memasukannya ke karung sehabis kamu meminumnya.

 kamu mulai melilit karungmu dan memikulnya, dari wajah dan suaramu yang sedikit agak kaget, sepertinya ada lelah yang senantiasa yang memelukmu. air yang kamu minum tidak mengubah rasa apa-apa yang ada di dirimu. kamu berjalan dengan pandangan tertunduk, mencari malam ini dan hari esok, siapa tau itu ada dibawah, di dekat kakimu. 

terlebih dahulu kamu memutari taman, melongok kebawah ketika sampai pada setiap sudut taman. kini langkahmu telah benar-benar jauh dari kursi taman, kamu tak pernah perduli benar dengan apa yang pernah kamu tinggalkan di sana. kamu semakin kecil dalam pandangan kursi dan taman, hingga pada akhirnya kamu resmi meninggalkan kursi taman dan mimpi itu.

kamu telah yakin dengan apa yang kamu semai atas hari ini. kamu pergi bukan untuk mencarinya,  tapi untuk mempersiapkan diri untuk makan eskrim karna,

"malam ini malam minggu dan esok pasti banyak tukang eskrim di sini." ucapmu tersenyum dan berjalan dengan riyang.

 

 

 

 

 

 

 

 


Puisi || Perandai-an || DM

Desember 11, 2019



Perandai-an

   Jika serupa tangkai kan selalu di genggam.
Jika serupa langit kan selalu di pandang..
Jika serupa khayal kan selalu terbayang..

Diri sedia memutar peran
menikam bayang, mewujud tindak
kan dibuatnya terbalik izin tertanda
langkah ini tak bernyawa

kini..diri terjebak pada sorotnya
Jika sinarnya sanggup memikat
Jika lirihnya sanggup menyita
Jika bisunya sanggup mengalihkan

Dan..

Jika sudah hampa terpampang
Siapa patut diberi tanggung?
Hey..sinar, langit, bulan
Kami butuh jawaban










Puisi oleh      : @daivamaritza
Ilustrasi oleh : @adelsalsaa

About Us